Figure 1 Haji Agus Salim bertemu Hassan Al Banna

Pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), Hasan Al Banna ternyata pernah menjadi anggota Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Atas desakan IM, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat bagi RI.

***

Kota pelabuhan Iskandariyah pertengahan Juli 1945.  Jam kayu di sebuah penginapan murah di kota pelabuhan Mesir telah menunjuk angka 22.00 waktu setempat. Di satu ruangan yang tak seberapa besar, empat-puluhankelasi kapal berkebangsaan Indonesia berkumpul. Sejumlah mahasiswaIndonesia yang tengah studi di Mesir terlihat memimpin rapat.

 
 

Beda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu atmosfir rapat terasaagak emosionil! Para kelasi Indonesia yang bekerja di berbagai kapal asing yang tengah merapat di Iskandariyah, Port Said, dan Suez itubanyak yang yakin, jihad fii sabilillah yang tengah digelorakan bangaIndonesia melawan penjajah belanda dalam waktu dekat akan sampai padapuncaknya. Muhammad Zein Hassan, salah seorang mahasiswa Indonesia yang hadir,berpesan pada para kelasi agar mulai menabung. “Di saat terjadinyajihad, mereka sebaiknya meninggalkan kapal-kapal sekutu agar tidakmenodai perjuangan.”

 
 

Sambutan para kelasi yang dalam kesehariannya jauh dari tuntunan agama itu sungguh mengharukan. Mereka dengan sepenuh hati menyanggupi hal tersebut. “Jika fatwa sudah turun, kami akan mematuhi,” ujar salahseorang dari mereka.

Tak terasa, jam telah berada di angka satu. Acara ditutup dengan sumpah setia dengan perjuangan bangsanya yang nun jauh di seberang lautan. Seluruh peserta mengangkat tangan kanan dan dikepalkan. Dengan menyebut nama Allah SWT, mereka bertekad akan membantu dengan sekuat tenaga jihad fii sabilillah yang akan digelorakan bangsanya dalam waktu dekat ini.

 
 

Sumpah para kelasi tersebut tidak main-main. Terbukti di kemudianhari, dua bulan setelah proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta, dua orangkelasi Indonesia tiba di Kairo dengan berjalan kaki dari Tunisia.

“Saat kami tanya mengapa berjalan kaki sejauh itu, mereka menjawab bahwa mereka menerima fatwa yang dibawa teman-teman mereka dariIndonesia. Fatwa itu menyatakan haram hukumnya bekerja dengan orang kafir yang memerangi kaum Muslimin,” ujar Zein Hassan.

Walau tidak punya cukup uang, dua orang kelasi itu segera meninggalkan kapal sekutu tempatnya bekerja dan berjalan kaki menuju Mesir, karena di Mesir-lah berada banyak orang sebangsanya.

 
 

Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap antipati terhadap penjajahan Inggris. Sikap non kooperatif terhadap penjajah Inggris ini dicetuskan oleh organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang mendapat sambuta nluar biasa dari rakyat Mesir. Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat geografis, Al-IkhwanAl-Muslimun telah memiliki “jaringan iman” dengan berbagai gerakan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sekutu dengan sekuat tenaga memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah. Dikhawatirkan jika kemerdekaan Indonesia sampai didengar umat Islam disana, ini bisa menjadi inspirasi bagi gerakan serupa di Timur Tengah.

 
 

Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini, akhirnya pada awal September 1945, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, beritaini sampai juga ke Mesir.

Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja diKedutaan Belanda di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dalam suatu artikel di majalah Vrij Nederland. Bagai angin berhembus, beritaini dengan cepat menyebar ke Dunia Islam.

Koran dan radio Mesir memuat berita kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para penyiar dengan penuh semangat mengatakan bahwa inilahawal kebangkitan Dunia Islam melawan penjajahan Barat.

Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai sepuluh pound Mesirjika dibunuh atau dilindas kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengaduatau menggugat. Sebab itu, proklamasi kemerdekaan sebuah negeri Muslimterbesar di dunia ini disambut dengan luapan kebahagiaan.

Di sejumlah kota, Al-Ikhwan Al-Muslimun segera menggelar munashorohbesar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini dijadikannyamomentum momentum yang bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris.

Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab denganinisiatif sendiri membentuk “Lajnatud Difa’i’an Indonesia” (PanitiaPembela Indonesia). Badan ini dideklarasikan pada 16 Oktober 1945 diGedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasyasebagai pimpinan pertemuan.

Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al Banna dan Prof.Taufiq Syawi dari Al-Ikhwan Al-Muslimun, Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher, dan Sekjen Liga Arab Dr. Salahuddin Pasya.

Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah Islamiyah, pakar hukum internasional,  Dr. M. Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara Islam untuk sesegera mungkin mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Selain itu, Panitia Pembela Indonesia juga mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia.

“Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, makaInggris akan menuai kemarahan Dunia Islam di Timur Tengah!” ancam Salahuddin Pasya.

Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela “kawan seakidah” bernama Belanda. Pasukan NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.

Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah.Fatwa ini bergema ke seluruh nusantara dan disambut dengan gegap gempita.

Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi pertempuran 10 November1945 di Surabaya (hingga kini 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan di Indonesia, red.). Untuk memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung Tomo lewat corong radio perlawanan – cikal bakal RRI – terus menerus mengingatkan para mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka yang syahid.

Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT yang mampu membuatribuan rakyat Surabaya berani melawan pasukan Sekutu bersenjata lengkap.

Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema hingga ke Dunia Arab. Keberanian umat Islam Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan Sekutu yang habis mabuk kemenangan dalam Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal Sekutu – Malaby –  di Surabaya, dirasakan oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian dari kemenangan Islam atas kaumkafir. Upaya perlawanan terhadap Inggris di Mesir pun kian membuncah.

Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah, Baghdad, dannegeri-negeri Timur Tengah, dengan serentak umat Islam mendirikan sholat ghaib untuk arwah para syuhada di Surabaya.

Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46) dengan nada salibmenakut-nakuti Barat dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia danDunia Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di duniaseperti di Indonesia akan menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnyauntuk membebaskan diri dari Eropa.”

Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tidak saja dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga dalam dunia diplomasi. Dalam berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan jelas adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri Muslim yang mendukung Indonesia dengan negeri-negeri salib yang memandang Indonesia masih bagian dari Belanda.

Wakil-wakil dari Indonesia di sidang PBB, diperbolehkan ikut sidang setelah negeri-negeri Arab mengakui kedaulatan RI, dalam menghadapi serangan pihak Sekutu sering menanggapinya dengan cara diplomatis dan terkesan lunak. Hal ini dikecam keras Muhammad Ali Taher dari Palestina.

“Mengapa kamu masih saja bersikap diplomatis terhadap seseorang yangingin menghancurkan negeri kamu!” sergahnya mengingatkan wakil dariIndonesia agar tidak takut melawan kezaliman.

Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya dari penjajah kafir, Al-IkhwanAl-Muslimun tanpa kenal lelah terus menerus memperlihatkan dukungannya.

Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media, yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya,berbagai acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar.

Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap dilakukan mereka.

Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Merekajuga menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.

Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, membuatpemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946.

Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.

Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara Timur Tengah.

Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirimdelegasi resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegas ipemerintah RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertamayang disinggahi delegasi tersebut.

Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo.Beda dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua in ilebih intens. Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikanrasa simpati. Selain pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan pengikutnya.

Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap Muslim baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalandiplomasi revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.

Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia, para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez. 

Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang menguasai Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda. 

Pada tanggal 9 Agustus 1947, rombongan kapal Belanda yang dipimpin kapal kapal Volendam tiba di Port Said. Ribuan aktivis Ikhwan yang kebanyakan terdiri dari para buruh pelabuhan, telah berkumpul dipelabuhan utara kota Ismailiyah itu.

Puluhan motor boat dan motor kecil sengaja berkeliaran di permukaan air guna menghalangi motor-boat motor-boat kepunyaanperusahaan-perusahaan asing yang ingin menyuplai air minum dan makanan kepada kapal Belanda itu.

Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merahputih. Dukungan Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan formalitas, tapi dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.

Walau pemimpin Ikhwan Hasan Al Banna menemui syahid ditembak mati oleh begundal rezim Mesir di siang hari bolong, 12 Februari 1949, dukungan ikhwan terhadap muslim Indonesia tidaklah berakhir. Dakwah tiada kenal kata akhir, hingga Islam membebaskan semua manusia.

___Sumber: Majalah Saksi – No. 21 Tahun VI, 18 Agustus 2004. Oleh: Rizki Ridyasmara