Paper

Paradigma Seputar Bencana

Evolusi cara pandang manusia terhadap bencana

Oleh    : Ardian Perdana Putra

NIM    : 1 2010 02 03 002

Prodi    : Disaster Management for National Defense

  1. Paradigma Konvensional

Pandangan masyarakat di berbagai daerah mengenai bencana sangat bervariasi tergantung perkembangan kebudayaan di tengah masyarakat di suatu daerah. Kemunculan berbagai pandangan tersebut dipengaruhi aspek-aspek kepercayaan, adat istiadat serta riwayat sejarah masyarakat setempat. Berbagai pandangan yang bervariasi tersebut melahirkan definisi yang berbeda di berbagai kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Pada akhirnya hal ini akan membedakan bentuk respons masyarakat terhadap bencana tersebut.

Sebagai ilustrasi mengenai perbedaan definisi mengenai bencana di berbagai kebudayaan, kita dapat membandingkan arti kata ‘bencana’ dalam berbagai bahasa di dunia. Dalam bahasa turunan Romawi (seperti Perancis dan Spanyol), ‘bencana’ memiliki makna konotasi yang berhubungan dengan mistis, perbintangan, supranatural dan agama. Hal yang berbeda akan kita lihat dalam bahasa Ceko dan Polandia, dimana arti kata ‘bencana’ akan mendekati makna kata ‘catastrophe‘ dalam bahasa Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Yunani. Dalam bahasa dan kebudayaan Belanda, Arab dan Jepang, ‘bencana’ berarti kejadian yang buruk, kerugian besar dan kecelakaan besar. (Drabek, 2005)

Umumnya, masyarakat melihat bencana sebagai gejala atau isyarat alam kepada manusia. Cara pandang ini berkembang dari konsep mengenai naluri dasar manusia yang cenderung mengkorelasikan suatu fenomena/gejala dengan fenomena/gejala lainnya. Selain itu, bencana dikaitkan dengan konsep agama tentang kekuasaan absolut Tuhan. Konsep-konsep tersebut melahirkan kepercayaan bahwa bencana merupakan bentuk takdir Tuhan, peringatan kepada manusia atau hukuman terhadap perbuatan manusia. Kepercayaan ini, ketika diartikan secara negatif akan menimbulkan pandangan bahwa bencana merupakan suatu malapetaka yang tidak terhindarkan, tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dirubah atau dicegah. Hal ini membuat sebagian masyarakat menganggap bahwa bencana sebagai suatu takdir yang hanya dapat diterima dengan pasrah.

  1. Paradigma Ilmu Alam

Perkembangan ilmu geologi, terutama teori mengenai lempeng tektonik membuka mata manusia mengenai penyebab dibalik terjadinya gempa dan juga tsunami. Teori mengenai lapisan-lapisan penyusun bumi serta beberapa teori geofisika dapat menjelaskan penyebab terjadinya letusan gunung berapi. Ilmu mengenai struktur tanah dan batuan juga membantu manusia memahami proses terjadinya longsor dan banjir. Selanjutnya, dengan adanya konsep-konsep mengenai iklim dan musim, manusia mengetahui penyebab terjadinya kekeringan, badai dan tornado. Perkembangan berbagai disiplin ilmu tersebut membawa perubahan mendasar pada cara pandang manusia dalam melihat bencana.

Dengan adanya kontribusi dari berbagai disiplin ilmu diatas, masyarakat mulai dapat melihat sisi lain dari bencana, yaitu sebagai dampak dari dinamika yang terjadi di alam. Selain itu, penyebab bencana dapat mulai dapat dipahami oleh masyarakat dengan logika rasional, sehingga kepercayaan bahwa bencana merupakan hukuman atau takdir yang tidak dapat dirubah perlahan hilang. Masyarakat mulai berpikir tentang usaha untuk mengurangi bencana.

  1. Paradigma Ilmu Terapan

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama sejak abad pertengahan mulai mendorong manusia untuk berpikir tentang bagaimana ‘melawan’ bencana. Perkembangan disiplin ilmu terapan seperti teknik sipil, konstruksi, arsitektur, geofisika dan perkembangan teknologi yang mengikutinya, mendorong munculnya usaha untuk mengurangi kerusakan akibat bencana. Diantara aplikasi ilmu terapan tersebut diantaranya diwujudkan dengan konstruksi bangunan tahan gempa, adanya standar sanitasi lingkungan, sistem peringatan dini dan manajemen wilayah serapan air. Perkembangan berbagai aplikasi ilmu terapan tersebut ditujukan untuk memperkecil kerusakan dan menahan daya rusak.

  1. Paradigma Progresif

Bencana merupakan suatu ancaman terhadap berjalannya suatu pembangunan berkelanjutan. Berbagai bencana yang terekam sejarah menjadi bukti yang terbantahkan bagaimana dampak yang ditimbulkan bencana dapat merubah suatu masyarakat secara drastis. Antara tahun 1992-2001 tercatat berbagai kerugian ekonomi yang diakibatkan bencana mencapai US$ 69 miliar/tahun seperti ditunjukkan pada tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dampak sosial dari bencana lebih banyak dialami oleh negara berkembang, sedangkan kerugian ekonomi akibat bencana lebih dominan dialami oleh negara maju.

Tabel 1 – Perbandingan kerugian akibat bencana di negara berkembang dan negara maju

Tipe Kerugian

Besar Kerugian

Negara Berkembang

Negara Maju

  • Korban Meninggal

60.000

96 %

4 %

  • Kerugian ekonomi per tahun

$ 69 miliar

37 %

63 %

  • Terkena dampak langsung

200 juta

98 %

2 %

  • Terkena dampak tak langsung

Tak terhitung

Tak terhitung

Tak terhitung

Kerugian akibat bencana memiliki kecenderungan untuk naik dari waktu ke waktu. Jika dibandingkan antara dekade 1990-an dengan 1970-an ditemukan bahwa jumlah orang yang terkena dampak bertambah tiga kali lipat, sedangkan kerugian ekonomi meningkat lima kali lipat. Perubahan iklim mendorong terjadinya bencana hidroklimatologis seperti kekeringan dan banjir yang mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai $ 300 miliar per tahun (Twigg, 2004).

Hal yang mendorong peningkatan kerugian akibat bencana adalah adanya kecenderungan konsentrasi populasi di kota besar dan daerah yang beresiko bencana tinggi seperti daerah patahan. Konsentrasi penduduk kota besar disebabkan karena kota merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, tidak terjadi pemerataan pembangunan ke wilayah pelosok. Pertumbuhan populasi yang pesat tanpa terjadi penambahan lahan baru mendorong terjadinya kompetisi dalam memperoleh hunian. Keterbatasan ekonomi mendorong masyarakat miskin untuk mencari hunian yang rendah biaya namun tingkat kerawanannya tinggi.

Mengurangi bahaya/potensi bencana di alam terbukti tidak berjalan dengan tidak efektif. Penyusutan atau setidaknya menekan pertambahan populasi tentu nyaris mustahil untuk dilakukan. Akan tetapi risiko serta dampak negatif bencana harus dapat diminimalisir. Satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah mengurangi kerentanan masyarakat. Langkah yang dapat dilakukan adalah penyesuaian aturan tata ruang dan relokasi penduduk di wilayah beresiko bencana. Metode lainnya adalah menguatkan atau meningkatkan kemampuan masyarakat menghadapi bencana dengan pendidikan, pelatihan dan upaya lain untuk menumbuhkan kesadaran.

  1. Paradigma Ilmu Sosial

Dalam paradigma ilmu sosial, bencana dilihat sebagai suatu masalah sosial, karena pada dasarnya suatu fenomena alam tidak menjadi bencana jika tidak ada masyarakat yang terkena dampaknya. Dalam bidang sosial, kajian kebencanaan berfokus pada aspek kemanusiaan dari bencana, yaitu bagaimana sikap dan perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Perkembangan aktual dari sosiologi bencana berkonsentrasi pada kajian tentang risiko dengan pendekatan pada kemampuan untuk berkompromi dengan situasi yang tidak diharapkan, dengan penekanan pada fleksibilitas, adaptabilitas, resiliensi dan kapasitas.

Sebagian peneliti sosial (diantaranya Kreps dan Drabek, 1996) melihat bencana sebagai salah satu bentuk fenomena cekaman kolektif (collective stress) yang bervariasi tergantung sumber/penyebab dan lingkup masyarakat yang terkena dampaknya. Sebagian peneliti lain (Quarantelli, 1998) memfokuskan pengamatan pada proses sosial yang terjadi didalam suatu kejadian bencana, yang terlihat dari adanya perbedaan respon masyarakat terhadap berbagai kondisi darurat. Mileti (1999) dan beberapa peneliti lainnya mengembangkan pendekatan masalah lingkungan dalam pengkajiannya. Fokus pengamatan kelompok ini adalah pengembangan konsep mitigasi ramah lingkungan yang berkelanjutan (dampak jangka panjang bagi kehidupan masyarakat), dimana aspek lingkungan menjadi suatu pertimbangan penting dalam merumuskan kebijakan mitigasi bencana.

Konsep kerawanan (Vulnerability) menjadi suatu topik kajian yang cukup menjadi perhatian dalam perkembangan sosiologi bencana. Hewitt (1983) dan beberapa peneliti lainnya mengkaji dampak dari suatu struktur sosial serta perilaku komponen masyarakat dalam menciptakan suatu kerawanan. Menurut golongan ini, kondisi sosio-ekonomi dan politik kebijakan memiliki andil besar dalam proses munculnya kerawanan masyarakat. Perilaku korup dari suatu golongan yang superior atau memiliki peran dalam penentuan kebijakan dapat berdampak pada masyarakat lainnya.

  1. Paradigma Holistik

Pandangan holistik mengenai bencana mempertimbangkan berbagai aspek diatas dalam melihat bencana. Bencana dilihat sebagai suatu ancaman bahaya yang timbul dari dinamika alam yang berdampak bagi masyarakat. Namun ada faktor peran manusia dalam memperbesar kerentanan, yaitu pembangunan yang mengesampingkan keberlanjutan ekosistem dan pertumbuhan populasi yang pada dasarnya sulit untuk dicegah. Maka dari itu, peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi suatu solusi yang dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan aspek latar belakang masyarakat (kepercayaan, sistem norma, adat istiadat dan sejarah) yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Penerapan ilmu terapan, teknologi dan prinsip manajemen diharapkan dapat meningkatkan efektifitas usaha peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.