Book Review: Post Modern War, The New Politics of Conflict, Chapter 5 – The Art of War
Book Review
Post Modern War, The New Politics of Conflict
Chapter 5 – The Art of War
Author : Ardian Perdana Putra
NIM : 1 2010 02 03 002
Study Program : Disaster Management for National Defense
Pengantar
Secara garis besar, bab ‘The Art of War’ dari buku Chris Habel Gray, ‘Post Modern War, The New Politics of Conflict‘ membahas mengenai perkembangan teori dan wacana seputar perang sejak awal peradaban manusia hingga abad ke-20. Bab ini terbagi dalam empat sub-bab, yang masing-masing memiliki fokus bahasan tersendiri. Sub-bab The Discourse of War (Wacana Perang) membahas mengenai faktor-faktor yang terlibat dan proses dalam pembentukan wacana mengenai perang, serta perbenturan yang terjadi antar wacana yang berkembang. Selanjutnya Power, Knowledge and War menerangkan bagaimana setiap wacana mengenai perang pada hakikatnya merupakan suatu ‘sistem kekuatan / pengetahuan’ yang membuat ada wacana yang bersifat dominan dan adanya wacana lain yang ‘tertindas’/tertutupi oleh wacana dominan tersebut. Secara khusus, The Gendering of War membahas mengenai perkembangan wacana mengenai dominansi pria dalam perang dan sudut pandang feminis mengenai hal tersebut. Terakhir, The Roots of Modern War in Primitive and Ancient War mengupas berbagai teori tentang asal muasal perang membedakan motif terjadinya perang di berbagai era yang berbeda. Bab ini dan bab Modern War merupakan pengantar menuju bahasan utama, yaitu mengenai karakteristik dari perang postmodern.
Makalah ini akan membahas secara khusus mengenai perkembangan teknologi perang sejak abad pertengahan hingga Perang Dunia Kedua. Fokus bahasan adalah mengenai dilema pengembangan teknologi serta sistem pengelolaan perang (faktor rasional dalam pandangan Gray) dengan perkembangan sistem moral dan hukum (faktor alami). Literatur pembanding yang digunakan adalah bagian V dari buku ‘Politics among Nation’ dari Hans J. Morgenthau. Buku ini diambil karena memiliki topik bahasan kurang lebih berhubungan mengenai pertentangan antara perkembangan teknosains dengan moralitas dalam perang seperti yang dibahas panjang lebar oleh Gray dalam ‘The Art of War’.
Ringkasan Isi
Sebagaimana disebutkan oleh Gray pada paragraf kedua bab ini, tujuan dari bab The Art of War adalah mengupas mengenai hasrat manusia untuk memahami, menjelaskan, memprediksi serta mengendalikan perang, dan mengapa hal tersebut mustahil untuk dilakukan. Berbagai konsep mengenai perang dari era Sun Tzu hingga era modern (Clausewitz, Macchiavelli, Lawrence) secara umum membagi faktor-faktor dalam perang menjadi faktor alami (mencakup faktor diluar manusia dan sisi emosional manusia) dan faktor rasional (terkendali dan terencana). Kedua faktor ini cenderung memiliki peran yang berimbang sepanjang keberjalanan sejarah, sehingga perang cenderung menjadi sebuah seni dan bukan sains. Hal inilah yang mendasari penamaan bab ini.
Perimbangan peran antara faktor alami dan faktor rasional dapat terlihat dari ungkapan Clausewitz mengenai friksi dalam perang:
Friksi hanyalah konsepsi yang… membedakan perang riil dengan perang di atas kertas. Mesin militer… dan seluruh perlengkapannya… tampak (di atas kertas) mudah untuk dimanage. Namun… hal itu semua terdiri dari individu-individu, yang masing-masing menjaga frikisinya dalam semua arah.
Dalam ungkapan tersebut, meskipun berbagai perangkat perang dapat dikalkulasi secara ilmiah, namun friksi antar pelaku dilapangan (prajurit dan lingkaran komando) tidak dapat diprediksi secara ilmiah. Hal ini juga diungkapkan oleh Janowitz, “…struggle between heroic leader, who embody traditionalism and glory, and military ‘managers’ who are concerned with scientific and rational conduct of war…“. Adanya faktor emosional tersebut, dalam pengendalian perang berusaha untuk ditekan melalui aturan dan sistem, dengan harapan mengurangi faktor yang tidak terkendali. Hal ini, menurut Gray akan semakin jelas jika perang dilihat sebagai sebuah sistem wacana.
Sistem wacana berguna untuk memahami budaya yang sedang berkembang, dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang disiplin keilmuan, diantaranya linguistik, psikologi, psikologi sosial, sosiologi, retorika ilmu politik hingga puisi. Dengan mempertimbangkan karakteristik tokoh, gaya bicara, retorika serta pandangan umum masyarakat, akan dapat diungkap pesan tersirat dan motif tersembunyi dibalik logika militer dan pemikiran ilmiah dari seorang seorang pelaku sejarah. Penggunaan retorika dalam menafsirkan naskah ilmiah dan dokumen kenegaraan memiliki dampak yang lebih signifikan, dalam menggali maksud tersembunyi yang mendasarinya.
Wacana perang menurut Michel Focault merupakan suatu sistem kekuatan dan pengetahuan. Ia berpendapat kekuasaan tidak saja represif, tetapi juga melibatkan pembentukan citra positif dan pengendalian wacana serta pembentukan apa yang disebut sebagai ‘rezim kebenaran’. Karena itu, perlu adanya usaha untuk memahami bagaimana kekuasaan ini diorganisir dari dasar dan asumsi tak terbantahkan yang membuat organisasi ini memungkinkan. Menurut Foucault ada beberapa cara untuk meneliti mekanisme yang ada dalam sistem kekuasaan / pengetahuan: kilasan sejarah, analisis wacana dan investigasi terhadap riwayat sejarahnya.
Sebuah riwayat sejarah bekerja dari sudut pandang melakukan sesuatu saat ini (untuk atau sebagai atau dengan atau untuk keturunan) berdasarkan apa yang disebut Foucault pengetahuan yang tertindas. Foucault mendefinisikan riwayat sejarah secara khusus sebagai rangkaian catatan mengenai kumpulan berbagai pengetahuan, yang semuanya tersingkirkan oleh wacana yang dianggap dominan. Dia memecah ilmu ini menjadi dua kategori:
-
Pengetahuan ilmiah yang tersembunyi dalam detail sejarah dan pengecualian yang tertekan oleh wacana dominan dan tersembunyi oleh generalisasi yang luas terhadap mitos dan meta aturan didalamnya.
-
Pengetahuan diabaikan karena mereka gagal dalam pengujian atas aturan wacana dalam tingkat kompleksitas, kepraktisan, atau formalisasi logika serta ilmu tertentu.
Meskipun kompleks, wacana tersebut menjadi metode pendekatan yang berguna, khususnya dalam menjelaskan bagaimana hal semacam perang dapat berubah. Foucault menyarankan beberapa kemungkinan:
-
Perubahan dalam materi pengetahuan aktual dari sebuah teknosains– misalnya, perkembangan teori probabilitas menyebabkan perubahan penting dalam wacana medis semenjak epidemi dan infeksi dapat dilihat dari sudut pandang baru.
-
Pengaruh dari para aparat dan pihak-pihak lain yang berwenang (misalnya, asosiasi medis dan keprofesian lainnya, polisi di belakang lembaga peradilan) dapat secara langsung mengubah aturan sistem wacana, Foucault menunjukkan ini dengan mengutip kasus penyakit mental, penjara, dan obat-obatan (1972, 1975, 1977, 1980).
-
Pemberontakan dari ‘pengetahuan yang tertindas’ – Foucault berpendapat bahwa melalui “pemberontakan” dan “kemunculan kembali” dari pengetahuan tersebut dimana kritisisme bekerja pada permasalahan esensial, “mengubah rezim dengan menghasilkan kebenaran “(1980, hal 133).
Di sisi lain, salah satu wacana yang muncul seputar perang adalah aspek gender dalam perang. Menurut beberapa pemikir, terutama kalangan feminis perang dikendalikan dan didominasi oleh kaum pria. Hal ini, menurut Norman Dixon disebabkan karena “secara alami organisasi militer merekapitulasi psikodinamika dari kelompok keluarga yang otoriter, dimana kepala keluarga tidak bisa berbuat salah “(1976, hlm. 218). Dixon (1976) menggambarkan penegakan maskulinitas di militer melalui paparannya mengenai berbagai praktek yang dilakukan Inggris seperti pelarangan bermain piano, mengecam seni dan rokok, serta rasa malu melakukan tugas defensif seperti konvoi tugas.
Veteran Perang Dunia II yang juga filsuf, J. Glenn Gray mengungkapkan bahwa daya tarik tersembunyi dari perang adalah kesenangan melihat, kesenangan persahabatan, kesenangan dalam kehancuran. William James, memiliki pandangan serupa: “…dalam banyak cara, perang dikukuhkan sebagai bagian dari maskulinitas. Apapun perubahan yang dilakukan dalam perang harus membuat energi baru dan mempertahankan kelaki-lakian…“. Hal ini, menurut James Fallows membuat “topik diskusi-perang adalah aktivitas kehidupan yang paling mengerikan, tetapi juga suatu hal yang selama ribuan tahun, dalam pandangan banyak pihak telah menjadi manifestasi utama dari maskulinitas…“. Bernard Brodie mengungkapkan emosi manusia dan terutama emosi yang tertekan, menjadi sebuah bagian penting dari alasan mengapa para pria berusaha untuk berperang atau berada dalam perang yang pasti tidak menguntungkan, seperti amat sulit untuk menarik diri dari cengkeraman tersebut. Emosi sangat mempengaruhi persepsi serta pengambilan keputusan dan perilaku.
Dari kalangan feminis, Carol Cohn menulis laporan terperinci tentang retorika wacana strategis nuklir (1987). Menurut Cohn, ada suatu mekanisme yang tercipta di dalam lingkungan para ilmuwan nuklir yang membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima akal sehat, seperti berpartisipasi dalam proliferasi senjata nuklir, yang berujung pada pelenyapan jutaan umat manusia untuk hidup. Dalam komunitas nuklir tersebut, istilah-istilah seputar senjata nuklir diperhalus, sehingga seakan menafikan sisi kemanusiaan dalam pemusnahan massal manusia. Bahasa ini menjadi daya tarik yang digunakan dalam legitimasi mereka. Cohn menemukan adanya “Arus kuat kegembiraan homoerotic, dominasi heteroseksual, yang menjadi dorongan menuju kompetensi dan penguasaan, kesenangan keanggotaan dalam kelompok elit dan istimewa, pentingnya dan makna keanggotaan dalam komunitas eksklusif (priesthood), dan kekuatan menakutkan menjadi kematian, penghancuran dunia“.
Robert Jay Lifton berpendapat bahwa dibawah tekanan ekstrim dalam penelitian seputar bom atom mendorong kejiwaan dari para ilmuwan untuk terpecah (berkepribadian ganda). Satu sisi kepribadian mendorong sang ilmuwan melakukan suatu hal yang tidak akan dilakukan oleh sisi kepribadian yang lain. Hal ini sedikit banyak menerangkan motif dibalik penggunaan istilah ‘bayi’ oleh Oppenheimer untuk bom atom rancangannya, nukilan ucapan Shiva “I am the death, destroyer of the world”, dan juga ungkapan kegembiraan atas prediksi yang tepat mengenai kekuatan bom atom ciptaannya. Zoe Sofia dan juga Carol Cohn memiliki pendapat bahwa hasrat pria terhadap perang dan penciptaan senjata merupakan bentuk penyaluran dari kecemburuan pria terhadap kemampuan wanita bereproduksi.
Selanjutnya, Gray membahas secara singkat berbagai teori mengenai asal muasal terjadinya perang. Diantara motif terjadinya perang antara lain adalah sebagai suatu ritual serta kebutuhan dari suatu populasi (sebagaimana perang era Neolitik/perang primitif). Perang kuno pada awal terbentuknya kerajaan dan terbentuknya perkotaan juga berkutat pada motif kebutuhan ekonomi dan ritual. Hingga masuk ke 500 tahun kebelakang, motif politik menjadi dorongan yang dominan dalam terciptanya perang. Namun dengan berkembangnya teknosains serta senjata nuklir, memasuki era Perang Dunia II, perang atas motif politik tidak lagi relevan.
Di akhir bab, Gray memaparkan bahwa perang modern dibangun dari perang tradisional/kuno dan mengadopsi banyak aturan dan meta aturannya. Perang postmodern mengadopsi baik perang modern dan perang tradisional. Perbedaan secara mendetail terbahas di bagian selanjutnya dari buku ini.
Bahasan
Dari ringkasan diatas, sedikit banyak dapat diambil beberapa intisari, yaitu:
-
Sepanjang sejarah, komponen dari perang terbagi menjadi faktor alami yang sulit untuk dikendalikan dan dikuantifikasi dengan pendekatan ilmiah (diantaranya aspek kepribadian, kejiwaan dan emosional) serta faktor rasional yang dapat diukur dan dikelola (jumlah pasukan dan teknologi).
-
Logika ilmiah dan pernyataan politik tidak selalu menggambarkan motif sesungguhnya dari suatu peristiwa dalam sejarah, termasuk mengenai perang. Maka dari itu pendekatan ‘perang sebagai sistem wacana’ dapat menjadi kunci untuk mengungkap maksud/pesan tersirat yang menjadi penjelasan sesungguhnya dari pecahnya perang.
-
Pertentangan antara moralitas dan teknosains militer memuncak sejak perang dunia kedua, dimana munculnya teknologi persenjataan pemusnah massal seperti bom atom membuat pelaku perang (termasuk ilmuwan pengembang senjata nuklir) semakin jauh dari pertimbangan moralitas.
-
Usaha untuk menafikan emosi dan naluri dalam perang dengan tujuan menjadikan perang sebagai suatu sistem yang terkendali sepenuhnya dapat berakibat pada hilangnya naluri kemanusiaan sehingga kerusakan yang ditimbulkan justru semakin tidak terkendali.
Dalam bahasannya mengenai perkembangan moralitas internasional, Morgenthau memaparkan bahwa terdapat pergeseran dari perang sejak era abad pertengahan hingga Perang Dunia II dalam aspek pengendalian moralitas dalam perang. Pada era aristokrasi, terbentuk sistem pengendalian perang yang relatif kuat karena hubungan kekerabatan antar dinasti yang menguasai berbagai wilayah di Eropa. Namun setelah memasuki era pemerintahan republik, sistem ini hilang seiring perpindahan tampuk kekuasaan dari sebelumnya bersifat turun temurun menjadi bersifat demokratis, yang berakibat hilangnya ikatan kekerabatan antar penguasa negara.
Selain itu, terjadi perubahan spektrum/cakupan perang. Pada abad pertengahan seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam perang, termasuk wanita, lansia dan anak-anak, sehingga pihak yang terkalahkan seringkali mengalami pembantaian massal setelah perang. Pada masa setelah peristiwa ‘Perang Tiga Puluh Tahun’ muncul gagasan pembatasan dampak perang, dimana perang adalah hanya antar angkatan bersenjata dan karenanya golongan yang lemah wajib mendapatkan perlindungan. Gagasan tersebut dimanifestasikan dengan dibentuknya Palang Merah Internasional dan dituangkan dalam bentuk kesepakatan serta perjanjian-perjanjian, diantaranya pembatasan perang laut (Deklarasi Paris 1856), pembatasan persenjataan (deklarasi Den Haag 1899).
Gagasan ini, memasuki abad ke-20 kembali dibantah oleh gagasan baru mengenai keterlibatan sipil dalam mendukung kekuatan militer. Kekuatan angkatan bersenjata dari suatu pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari peran industri dan berbagai sumberdaya yang dikelola sipil. Dampaknya adalah, muncul pembenaran-pembenaran terhadap aksi serangan terhadap warga sipil oleh satu pihak kepada negara musuh.
Masalah pengendalian moralitas yang sudah menurun sejak awal era negara-negara republik berada semakin memburuk seiring semakin pesatnya perkembangan teknologi dengan berbagai otomatisasi dan kecanggihan senjata pemusnah massal. Perang tidak lagi pertarungan satu lawan satu antar prajurit, tetapi dapat terpisah oleh rentang jarak yang jauh. Serangan militer pun dapat dilakukan hanya dengan menekan tombol, sehingga emosional dan naluri kemanusiaan semakin ternafikan. Masalah moralitas berada pada titik terendah ketika Perang Dunia II pecah.
Membandingkan kedua tulisan ini – Gray dan Morgenthau, terdapat kesamaan pandangan yang dapat disimpulkan. Diantaranya mengenai konsep pertentangan antara Teknosains dengan Moralitas perang. Baik Gray maupun Morgenthau sama-sama menyadari bahwa Perang Dunia II merupakan puncak dari supremasi teknologi perang diatas moralitas dan naluri kemanusiaan. Selain itu, baik Gray maupun Morgenthau sama-sama menempatkan sisi emosional (yang tidak dapat dikendalikan melalui pendekatan ilmiah) sebagai penyeimbang bagi faktor rasional (yang mampu dikendalikan oleh manusia).
Yang membedakan antara pandangan keduanya adalah dalam tentang peran dari faktor emosional dan naluri alamiah. Morgenthau melihat bahwa penyebab dari tragedi kemanusiaan dalam Perang Dunia II muncul karena emosional dan moralitas dinafikan dalam pengelolaan perang. Sedangkan Gray, melalui kutipan-kutipan yang Ia jadikan acuan, justru berpendapat bahwa peran emosional yang tertekan oleh sistem militerlah yang menyebabkan tragedi Perang Dunia II tersebut terjadi. Seperti disebutkan sebelumnya (terutama kutipan dari Cohn), lingkungan psikologis dari para perancang bom atom telah menciptakan alterasi (penyimpangan) kejiwaan, yang berakibat merajalelanya dorongan emosional untuk menciptakan senjata nuklir. Dengan kata lain, Gray berusaha mengungkapkan bahwa pecahnya Perang Dunia II sesungguhnya merupakan efek samping dari kegagalan sistem kekuatan/pengetahuan untuk mengendalikan sisi emosional para pelaku (ilmuwan nuklir dan para perwira serta prajurit).
Terlepas dari siapa diantara keduanya yang lebih mendekati kebenaran, kedua sudut pandang ini dapat saling memperkaya dan saling melengkapi dalam memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem nilai dan sistem wacana dibalik sejarah perang antara abad pertengahan hingga Perang Dunia II. Kekuatan dari tulisan Morgenthau terletak pada ulasannya yang panjang lebar mengenai detail pergolakan politik dibalik perang, sedangkan Gray memiliki keunggulan dalam hal analisis ilmiahnya berdasarkan referensi banyak tokoh yang dikutipnya dalam buku yang merupakan revisi dari disertasi doktoralnya ini.
Pustaka
Cohn, Carol, 2003. ‘A Conversation with Cynthia Enloe: Feminists Look at Masculinity and the Men Who Wage War‘ – Article of SIGNS: Journal of Woman in Culture and Society.
Cohn, C., Ruddict, S., 2003. ‘A Feminist Ethical Perspective on Weapons of Mass Destruction‘. Boston Consortion of Gender, Security and Human Rights.
Morgenthau, Hans J., 2010. Politik Antar Bangsa, Yayasan Obor.
Putra, Ardian P., 2010. Book Review: Politik Antar Bangsa (Hans J. Morgenthau), Bagian 5 – Moral Internasional dan Opini Umum Dunia, Self publishing: Jakarta (http://ardee.web.id)