Keberadaan komunitas peranakan Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Kesenian tradisional dari daratan Cina pun ikut memberi warna dalam budaya Nusantara. Persenyawaan budaya Tiongkok dengan budaya Lokal, membawa ciri khas tersendiri pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia. Salah satu ciri khas tersebut tercermin dalam seni pertunjukan Wayang Potehi.

Wayang Potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Cina Selatan. Potehi sendiri berasal dari akar kata ‘pou’ (kain), ‘te’ (kantong) dan ‘hi’ (wayang), sehingga secara harfiah memang bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain. Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari, dengan jari tengah mengendalikan kepala, sedangkan ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang.

Berdasarkan sebuah legenda klasik, Wayang Potehi disebut-sebut berasal dari balik jeruji penjara Kerajaan Tiongkok. Alkisah, terdapat lima orang narapidana yang akan dieksekusi mati atas perintah Sang Kaisar Cina karena suatu pelanggaran hukum yang berat. Berita eksekusi ini menciutkan nyali empat orang diantara pesakitan tersebut. Mereka pun bersedih frustasi meratapi sisa umur mereka menjelang detik-detik eksekusi yang semakin dekat.

Hal yang berbeda justru terlihat pada seorang pesakitan lainnya. Alih-alih bersedih, sang narapidana ini justru memiliki menghadapi sisa hidupnya dengan gembira. Ia pun mengajak rekan-rekannya tersebut untuk mengisi detik-detik yang tersisa dengan menghibur diri sendiri. Kelimanya akhirnya secara spontan membuat pertunjukan boneka dari kain dengan iringan bunyi-bunyian yang berasal dari berbagai benda yang ada di sel mereka.

Tak disangka, dari beraneka barang yang ada seperti piring, panci dan perkakas lainnya hadir musik yang enak di dengar. Pertunjukan boneka ini pun ternyata tidak saja menghibur mereka berlima, tetapi juga narapidana lainnya dan bahkan para sipir penjara. Cerita tentang pertunjukan kelima orang narapidana ini pun akhirnya sampai ke telinga Sang Kaisar. Atas kebijaksanaannya, kelima narapidana tersebut akhirnya memperoleh pengampunan dan mendapat kehormatan melakukan pertunjukan di hadapan Sang Kaisar.

Diduga akar dari kesenian Wayang Potehi telah berkembang selama kurang lebih 3000 tahun. Bukti-bukti sejarah yang lebih kuat menunjukkan bahwa eksistensinya di Tiongkok telah ada sejak Dinasti Jin (265-420 M). Kesenian ini diperkirakan masuk ke Nusantara bersama ekspedisi perdagangan sekitar abad ke-16. Seni wayang ini berkembang di berbagai daerah di Indonesia dimana masyarakat peranakan Tionghoa berada.

Di Indonesia sendiri, kesenian tradisional ini mengalami pasang surut sepanjang perjalanan sejarahnya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kesenian ini cukup populer di tengah masyarakat. Tetapi berkembangnya sentimen negatif terhadap budaya Cina pada awal era Orde Baru, membuat seni wayang ini pun mengalami masa surut. Keberadaanya hilang di tengah masyarakat dan hanya dipertunjukkan di tengah kalangan terbatas saja.

Seiring datangnya Reformasi, perlahan kesenian ini pun kembali menggeliat di tengah masyarakat. Wayang Potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat seperti kelenteng atau pada saat perayaan ritual keagamaan. Bahkan saat ini pertunjukan wayang potehi pun marak merambah ke sejumlah pusat perbelanjaan, khususnya saat perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh.

Selain sebagai sebuah hiburan, sebagai mana jenis pertunjukan wayang tradisional lainnya, Wayang Potehi memiliki makna tersendiri secara ritual. Karena itulah kisah yang ditampilkan pun memiliki pesan kebajikan tertentu. Kisah yang umum diangkat dalam pertunjukan antara lain kisah perjalanan Sun Go Kong menuju ke India (Se Yu) dan kisah dari dinasti-dinasti kekaisaran Tiongkok. Diantara lakon-lakon yang populer dibawakan antara lain adalah Si Jin Kui, Lo Thong Sau Pak, Cu Hun Cau Kok dan lain sebagainya.

Catatan: Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel berjudul ‘Wayang Potehi, Persenyawaan Budaya Tionghoa dan Nusantara’ di Portal Budaya ‘IndonesiaKaya.com‘)