Oleh: Ardian Perdana Putra (Sekretaris Eksekutif IA-ITB Jakarta)

Dengan malu-malu, sosok itu mengungkapkan permasalahan seputar rencananya melanjutkan S2 ke Jerman. Sebut saja R, alumni muda ITB, memutuskan resign setelah 4 tahun bekerja di salah satu bank nasional demi mimpinya meneruskan pendidikan di bidang ekonomi. Ia pun mendapatkan panggilan dari salah satu kampus di Jerman.

Sebenarnya, tabungannya selama bekerja semestinya memadai untuk bekal awal memulai studi, tetapi pelemahan nilai rupiah membuat dana yang Ia siapkan tidak lagi bisa menutup biaya deposit untuk tinggal di sana. Selisihnya lumayan besar, hingga puluhan juta rupiah.

Itulah yang menjadi alasannya berusaha mengontak Ikatan Alumni ITB, wadah yang semestinya bisa menaunginya dan menjadi tempatnya mengadu. Kebetulan, satu-satunya nomor kontak yang bisa ia temukan adalah nomor penulis, yang tertera di halaman depan website IA-ITB Jakarta. Lucunya, pengalaman R hampir sama dengan yang penulis alami sendiri saat S2 bertahun-tahun lalu.

Di 2010, Penulis mendapatkan beasiswa program S2 Manajemen Bencana di UNHAN yang baru dibuka perdana. Beasiswa ini sebenarnya sangat menarik, karena menutup seluruh biaya kuliah hingga lulus, plus satu kali perjalanan kuliah kerja di dalam negeri dan satu kali ke luar negeri. Masalahnya, paket beasiswa saat itu tidak mengakomodasi biaya hidup meskipun menuntut komitmen penuh waktu. Hal ini cukup menyulitkan bagi para mahasiswa, terutama yang telah berkeluarga.

Ketika itu ada empat alumni lain dari ITB yang kebetulan seangkatan di UNHAN. Seperti juga R, yang terlintas pertama kali di pikiran kami ketika itu adalah mengontak pengurus Ikatan Alumni ITB. Kedua penggalan pengalaman ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran IA-ITB sebagai wadah yang mendampingi para alumni ketika mengalami masalah atau membutuhkan dukungan dalam pengembangan diri mereka.

Kilas Balik Ikatan Alumni ITB

Sejak inisiatif pendiriannya pada 1-3 Maret 1969, Ikatan Alumni ITB bertujuan mewadahi alumni untuk ikut serta merealisasikan visi almamater dalam berkontribusi kepada masyarakat. Disamping itu, IA-ITB menjadi penghubung antara alumni dengan almamater dan merekatkan jejaring antar sesama alumni untuk membantu kepentingan alumni dalam merealisasikan kontribusinya kepada masyarakat.

Seiring waktu, organisasi ini mengalami pasang surut dan dinamika yang akhirnya mendorong perubahan mekanisme pemilihan Ketua IA-ITB dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung (one-man-one-vote) pada Kongres Nasional V IA-ITB, 5 Desember 1998. Pada momentum tersebut, Ir. Cacuk Sudarijanto yang kala itu menjadi Dirut Telkom terpilih sebagai Ketua IA-ITB pertama yang dipilih langsung oleh anggota untuk periode 1998-2002.

Setelahnya, tampuk kepemimpinan IA-ITB berturut-turut dijabat Ir. Laksamana Sukardi (2002-2007), Ir. Hatta Rajasa (2007-2012), Ir. Sumaryanto Widayatin (2012-2016, yang kemudian digantikan oleh Ir. Sawaluddin Lubis karena berhalangan tetap), Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin (2016-2021) dan Ir. Gembong Primadjaja (2021-2025). Dalam rentang masa tersebut, tercatat Ketua IA-ITB telah dua kali dijabat oleh pejabat setingkat menteri, dua kali dijabat oleh pejabat setingkat dirjen, dan satu kali dijabat oleh direktur BUMN.

Di satu sisi, mekanisme pemilihan langsung ini diakui memberikan pengaruh positif pada rasa kepemilikan massa alumni terhadap institusi IA-ITB. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya partisipasi alumni dalam meramaikan kongres dan memberikan hak suaranya dalam Pemilu Ketua IA-ITB. Kongres Nasional IA-ITB pun seperti hajatan meriah empat tahunan yang menjadi ajang reuni massal yang diikuti puluhan ribu alumni di berbagai daerah.

Meski demikian, di sisi lain dari periode ke periode muncul suara kritis mengenai minimnya dampak kehadiran IA-ITB bagi massa alumni selama para ketua ini menjabat. Meskipun berbagai program terselenggara sepanjang kepengurusan, minimnya informasi dan pelibatan massa alumni secara luas membuat program-program tersebut hanya tersosialisasikan di kalangan terbatas. Hal ini salah satunya bisa terlihat dari jejak “Forum Alumni”, majalah resmi terbitan Pengurus Pusat IA-ITB yang kehadirannya terhenti di pertengahan 2009. Kanal komunikasi digital seperti website kepengurusan pun kerap kali tidak terkelola secara baik.

Suara kritis lain menyoroti efek negatif yang dihasilkan sistem pemilihan langsung, dimana kandidat terpilih cenderung kurang merangkul pihak yang kalah atau sebaliknya, kandidat yang kalah cenderung menjaga jarak terhadap yang menang. Hal ini menimbulkan kesan bahwa  dinamika selama kampanye caketum menimbulkan luka yang berbekas hingga satu periode kepengurusan.

Kritik lain menyoroti sosok ketua IA-ITB yang selama beberapa periode selalu diisi tokoh pemerintahan dengan kesibukan yang padat, sehingga dianggap menjadikan pengurus pusat IA-ITB terkesan elitis dan sulit dijangkau. Di sisi yang berlawanan, pendapat ini disanggah oleh opini lain yang menganggap bahwa jabatan Ketua IA-ITB cukup vital sehingga perlu untuk diisi oleh figur dengan ketokohan nasional yang mumpuni, sehingga wajar jika diisi oleh pejabat publik yang dapat membukakan akses strategis bagi organisasi.

Dialektika Pilketum

Dialektika yang ada mendorong munculnya wacana perubahan mekanisme pemilihan Ketua IA-ITB. Opsi-opsi yang muncul antara lain adalah kembali ke sistem perwakilan – dimana Ketua IA-ITB akan dipilih oleh perwakilan struktur pengda, pengjur, penglu dan komisariat -, dan mekanisme pemilihan melalui musyawarah mufakat dalam forum kongres. Setelah sempat hanya menjadi wacana liar pada dua perhelatan kongres sebelumnya (Kongres IX tahun 2016 dan Kongres X tahun 2021), wacana ini muncul secara resmi melalui usulan peserta pada forum Rakernas IA-ITB 2024 pada 14 Desember 2024 di Sasono Adiguno TMII.

Usulan anggota dalam Rakernas tersebut kemudian menjadi dasar diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) pada 15 Maret 2025 di Aula Timur ITB. KLB tahun ini merupakan yang kedua kalinya diselenggarakan pada jeda antara Kongres X di tahun 2021 dan Kongres XI di Juni 2025 mendatang, dengan agenda persetujuan perubahan AD/ART yang dirumuskan tim khusus atas masukan pada Rakernas 2024.

Beberapa poin aturan organisasi yang diusulkan untuk diubah antara lain seputar kriteria calon ketua di berbagai tingkatan struktural IA-ITB, dan mekanisme pemilihan calon ketua. Hariyono ‘Kribo’ (IF’85), Wakil Ketua Umum IA-ITB yang juga menjadi ketua tim konsinyering di KLB Maret 2025 mengungkapkan bahwa semangat dalam pembahasan poin mekanisme pemilihan calon ketua tidak serta merta bermaksud menghapus opsi pemilihan langsung dari AD/ART, akan tetapi lebih untuk membuka ruang terhadap adanya opsi alternatif seperti musyawarah mufakat dan sistem perwakilan. Menurutnya, hal ini berkaca pada kondisi di beberapa entitas struktural IA-ITB (pengda dan penglu) yang tidak memungkinkan terjadinya pemilihan langsung, semisal karena minimnya minat individu untuk mencalonkan diri ke posisi tersebut.

Usulan perubahan mekanisme pemilihan ini memicu berbagai respon dari sejumlah kelompok alumni. Kalangan milenial dan gen Z cenderung resisten dengan usulan ini dan memandang hal ini sebagai sebuah kemunduran, seperti kembali ke era pra-reformasi. Resistensi lain juga disuarakan oleh generasi yang lebih senior, antara lain Denda Alamsyah (GD’91) yang juga menjabat sebagai wakil ketua umum IA-ITB dan Khalid Zabidi (SR’93), yang menganggap bahwa perubahan mekanisme tersebut – khususnya pada konteks ketua umum IA-ITB akan semakin menafikan suara alumni arus bawah dan menjadikan organisasi ini menjadi semakin elitis.

Forum KLB Maret 2025 pada akhirnya memutuskan menunda pengambilan keputusan pada poin tersebut, menimbang dampak sistemik yang ditimbulkan keputusan tersebut sangat signifikan mengubah AD/ART IA-ITB. Forum mengusulkan perubahan mekanisme ini dibahas mendalam dan dipertimbangkan dengan penuh kehati-hatian. Keputusan ini sekaligus menegaskan bahwa mekanisme pemilihan Ketua Pengurus Pusat IA-ITB yang akan berlaku dalam Kongres Nasional XI IA-ITB tahun ini tetap menggunakan sistem One-man-one-vote yang diselenggarakan secara daring.

Agustin Peranginangin (SI’94) atau akrab disapa Angin, selaku ketua Kongres Nasional XI IA-ITB mengungkapkan, meskipun pemilihan sepenuhnya daring, untuk teknis pemilihannya panitia tetap akan menyiapkan beberapa titik lokasi TPS, antara lain di kampus dan sejumlah daerah. untuk mendorong para alumni tetap berkumpul dan hadir secara fisik.

Kemana Selanjutnya?

Terlepas dari berbagai dialektika yang ada, untuk kesekian kalinya Kongres Nasional IA-ITB akan kembali terselenggara dalam waktu dekat. Momentum ini sepatutnya menjadi kesempatan bagi para alumni ITB, khususnya para penggiat kepengurusan IA-ITB di berbagai tingkatan struktural untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi.

Angin (SI’94) mengungkapkan, bahwa dalam perspektif panitia dirinya mengharapkan kontestasi calon ketua IA-ITB pada Juni nanti memiliki semangat ‘Coopetition’, yang ia tafsirkan sebagai ‘semangat bersaing dalam kebersamaan’. Nantinya, ia berharap kandidat terpilih akan didukung oleh kandidat lainnya, yang masing-masing akan ikut terlibat dalam kepengurusan aktif.

Akankah kongres kali ini bisa menjadi pintu transformasi organisasi ini untuk menjawab tantangan zaman? Apakah aspirasi kritis yang terus berulang di kongres-kongres sebelumnya akan memberi warna baru bagi IA-ITB atau sekedar dianggap tradisi rutin empat tahunan yang akan hilang dengan sendirinya?

Jawabannya akan kembali berpulang kepada diri kita, para alumni yang akan menentukan nasib organisasi ini. Yang pasti, masyarakat Indonesia di luar ITB tentunya memiliki ekspektasi lebih bahwa lulusan salah satu kampus terbaik negeri ini tidak hanya selesai berwacana bagi kalangannya sendiri, tetapi berkontribusi nyata bagi masa depan negeri yang sedang berharap-harap cemas menyongsong bonus demografinya.

*) Tayang di Majalah Alumnia IA-ITB Jakarta Edisi 5 Halaman 27 dengan judul “Menjaga Rumah Alumni: Harapan, Kritik dan Masa Depan IA-ITB” (dengan penyesuaian editorial)