Salut Dengan Adhyaksa
Saya tidak tahu, apa yang Adhyaksa Dault kampanyekan sewaktu mendulang suaranya di Sulawesi Tengah. Tapi setidaknya, ia tak sampai harus ingkar janji dengan pemilihnya. Sistem pemilu di negara kita mengenal yang namanya sistem proposional terbuka dengan penetapan calon terpilih sebagai suara terbanyak. Meskipun tidak ada sanksi tegas, apakah etis kalau sudah terpilih dengan suara terbanyak, lalu mengundurkan diri dengan alasan “tugas negara?”. Di saat awal-awal mencalonkan diri dan berkampanye, seharusnya ia tahu jadwal tahapan pemilu sampai ke penetapan dan pelantikan anggota terpilih. Menjadi menteri ataukah anggota legislatif tentu saja adalah sama, mengemban tugas negara yang bekerja tentu saja untuk kepentingan rakyat. Bagi saya, akan lebih fair dan gentle kalau setelah tahu akhirnya terpilih menjadi anggota legislatif, memilih mengundurkan diri dari kabinet. Aturan dalam DPR juga jelas, kalau suatu saat terpilih lagi menjadi menteri, bisa mengundurkan diri karena ada pergantian antar waktu. Jika hal ini di lakukan, bisa menjadi pembelajaran demokrasi yang baik bagi rakyat. Bersyukurlah Adhyaksa, bahwa rakyat di sana masih memakai bahasa yang halus, penipu politik bukan penipu rakyat.
(Penipu Politik, http://www.kulinet.com/baca/penipu-politik/620/)
Komentar Saya:
Ah… menurut saya jauh lebih tidak gentle jika dia mundur dari jabatannya sebagai menteri kemudian meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya sudah siap dituai hasilnya oleh pemerintah seperti RUU yang disebut diatas. Toh memang akhirnya mekanisme Pergantian Antar Waktu-nya lah yang harusnya lebih diawasi. Semestinya kita lebih peduli apakah orang yang nantinya menjadi penggantinya sejajar secara kapasitas dengan seorang Adhyaksa Dault, karena PAW membuka celah terjadinya perdagangan kursi. Jika partai yang mengusungnya tidak punya platform yang jelas mungkin kita patut khawatir, tetapi setahu saya PKS yang mengusung Adhyaksa Dault memiliki platform yang jelas tentang mau dibawa kemana indonesia selama 1 periode kedepan. Jadi, siapapun yang akhirnya menjadi pengganti pak Adhyaksa saya pikir tidak masalah, karena ia akan membawa visi yang sama dengan pak Adhyaksa dan ada mekanisme kontrol partai yang menjaga itu.
Justru bagi saya sinting jika sebuah partai terlalu mengandalkan / berorientasi pada figuritas segelintir tokohnya (contoh riil, PDIP dengan Megawati dan PAN dengan Amien Rais), lebih parah lagi jika mereka tidak memiliki platform yang jelas tentang nasib indonesia kedepan. Seharusnya, siapapun yang menjadi legislatif dari suatu partai, Ia harus bisa menempatkan kepentingan diluar pribadinya diatas kepentingan pribadinya dan oleh karena itu, baik dia berada di eksekutif maupun legislatif tidak ada masalah, tergantung dimanakah kontribusinya dirasa lebih optimal. Dalam kondisi beliau yang telah menjabat Menegpora selama 1 periode, saya pikir keberadaan beliau di kementrian jauh lebih penting ketimbang legislatif, dan karena itu saya salut dengan pilihan tersebut.