Sepenggal kisah ta’aruf by Ardee
Saat aku pertama kali ditawari untuk berproses ta’aruf dengan Nie, sebenarnya aku sedang tidak berencana untuk Ta’aruf. Keputusan ini kuambil untuk mengambil jeda sejenak dan berbenah diri setelah beberapa proses inisiasi ta’aruf sebelumnya tidak berjalan lancar. Ketika itu aku justru sedang berencana untuk kembali fokus pada aktivitas akademik, menyelesaikan Tugas Akhir yang sempat tertunda beberapa waktu. Namun tanpa kuduga-duga, seorang teman yang pernah sekost denganku (Rico, S2 elektro ITB, alumni fisika UNPAD) menawari aku berproses ta’aruf dengan seorang akhwat yang sama sekali belum kukenal. Aku hanya bisa menerka-nerka, kemungkinan sang akhwat merupakan alumni sealmamater Rico. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk menjajaki tawaran tersebut.
Tidak ada harapan berlebih dariku dengan keberjalanan proses ini. Semuanya kupasrahkan saja pada Allah. Nothing to Lose. Jika Allah berkehendak ini berlanjut, maka sesungguhnya memang itulah ketentuan yang telah digariskan-Nya, namun jika tidak seperti yang diharapkan, maka mungkin itu cara Allah memberi kesempatan bagi saya untuk berbenah, belajar dan mendewasakanku. Apapun hasilnya, yang terpenting bagiku, ikhtiar telah kujalankan semampu yang kubisa. Selanjutnya, biarlah Allah yang menentukan seberapa layak kita menerima anugerah terindahnya, pendamping hidup yang akan menemani kita dalam petualangan menemukan ridhonya. Setidaknya, itulah cita-cita tertinggi dari seorang bujang muslim yang hendak menggenapkan setengah Dien.
Biodata Akhwat itu masuk hari senin tanggal 18 Mei 2009. Simpel, hanya 3 halaman, dengan konten yang singkat dan padat, betul-betul efisien. Dari informasi yang kuperoleh, kutemukan bahwa kami memiliki beberapa kesamaan dalam hal latar belakang keluarga dan aktivitas di kampus. Tidak sulit bagiku untuk segera menyimpan ketertarikan pada beliau. Tidak sampai 3 hari, aku langsung mantap untuk lanjut ke proses berikutnya. Hari kamis pagi tanggal 21 Mei 2009, aku konfirmasi via SMS ke Rico. Seminggu kemudian, 27 Mei 2009, Rico mengabarkan bahwa akhwat tersebut bersedia untuk melanjutkan proses. Tantangan selanjutnya adalah, kondisi sang akhwat yang mengajar privat di Jakarta tidak memungkinkan ta’aruf dilakukan di Bandung.
Kabar ini kukomunikasikan dengan Mentor (guru ngaji) yang kemudian melakukan kontak dengan Mentor sang akhwat. Aku mengusulkan beberapa opsi tanggal dan dari pihak sang akhwat mengajukan usulan juga. Setelah terjeda 1-2 pekan karena sulitnya mensinkronkan jadwal, kami berempat (aku, sang akhwat dan Murabbi/yah kami) akhirnya menyepakati ta’aruf dilakukan pada hari Jumat, 12 Juni 2009 pukul 14.30 di rumah sang mentor dengan kondisi Murabbiku tidak dapat mendampingi ke jakarta. Akhirnya kuputuskan meminta sahabatku Kamil, yang memang tinggal di Jakarta untuk menemaniku saat ta’aruf.
Aku dan Kamil janjian bertemu di shelter busway Dukuh Atas untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Cengkareng dengan transit di Harmoni. Setelah sempat nyasar karena salah memilih rute perjalanan (kami turun di grogol dan menggunakan mikrolet menerobos pemukiman sampai ke jalan kapuk, thanks to Google) akhirnya kami sampai pada lokasi yang dimaksud, rumah dari mentor sang akhwat. Saat itu waktu telah mendekati dzuhur, sehingga kami shalat jumat dan makan siang di masjid dekat rumah sang Mentor. Kurang lebih pukul 13, kami kembali ke rumah sang mentor dan sesi ta’aruf pun dimulai.
Ta’aruf berjalan dengan lancar tanpa ada ganjalan dari kedua belah pihak, meskipun pada awalnya, sebenarnya kulihat baik Aku maupun dia sama gugupnya. Sang akhwat menerima kondisi yang kupaparkan tentang pribadi dan keluargaku, termasuk kondisi akademisku yang belum lulus dan pekerjaan sampinganku sebagai desainer freelance, begitu pula sebaliknya. Ta’aruf pun akhirnya berjalan dengan sangat singkat, sehingga kami bisa langsung beralih tentang proses selanjutnya, mengkomunikasikan niat kami pada orangtua dan khitbah.
Kurang lebih seminggu kemudian aku datang ke rumah orangtuanya di daerah Kapuk, Cengkareng. Tepatnya, 21 Juni 2009, selepas menghadiri resepsi dua sahabatku Puti – Lucky. Dengan melalui rute transportasi yang lebih manusiawi dari sebelumnya, aku menghadap Bapak dan Mamah (panggilan Nie pada kedua orangtuanya). Meski agak sedikit dag-dig-dug-jderrr di depan bapak Endang Syaiful akhirnya kusampaikan niatku untuk menikahi putri beliau. Bapak menyambut baik niatku tersebut, beliau memberikan gambaran kondisi keluarga beliau sebenarnya kurang lebih sama seperti keluargaku. Sebelum pamit, aku meminta izin untuk membawa Nie bertemu dengan keluargaku di Sawangan, Depok pekan berikutnya.
Rencana untuk memperkenalkan Nie pada keluargaku tertunda seminggu. Tanggal 5 Juli 2009, akhirnya Nie datang ke rumah, berkenalan dengan Orangtua dan adik-adikku. Alhamdulillah Nie disambut dengan hangat oleh mereka dan cepat mendapat tempat di depan orangtua dan adik-adik. Tantangan kami sesungguhnya baru dimulai pada saat ini, karena dari orangtuaku saat itu mengharapkan agar aku bisa lulus dulu sebelum prosesi akad dilangsungkan. Kedatangan Nie ke rumah menjadi bagian usaha lobbying kami untuk mempercepat proses menuju akad. Alhamdulillah, kami maju selangkah, orangtuaku membolehkan akad dilaksanakan setelah draft skripsiku beres. Target kami selanjutnya adalah mempercepat prosesi khitbah (Lamaran).
Karena sebagian besar waktuku di bandung, usaha kami untuk mengkomunikasikan masalah khitbah kepada orangtuaku agak terhambat. Akhirnya jalan kearah khitbah terbuka saat silaturahmi antar orangtua bisa dijadwalkan pada tanggal 2 Agustus 2009. Orangtua kami bersepakat agar prosesi akad berjalan secara sederhana. Momen silaturahmi ini ini kami berdua manfaatkan untuk melobi kembali orangtua kami untuk mempercepat akad. Kami maju selangkah lagi, dari orangtua kami mengizinkan jika Bab IV skripsiku selesai, akad bisa dilaksanakan. Meskipun terhitung lambat untuk ukuran Ta’aruf normal, hal ini kami syukuri sebagai jalan yang Allah pilihkan untuk membuat kami siap pada saat yang tepat.
Perjalanan menuju Bab IV tidak berjalan semulus yang diharapkan. Hingga pekan kedua Ramadhan, belum ada titik terang mengenai kemajuan pengambilan dataku. Tekanan semakin meningkat dengan adanya mutasi yang dialami Nie dari jakarta ke kantor pusat RZI di Bandung. Di RZI, mengurus izin mutasi antar daerah membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bagi seorang Akhwat, alasan yang paling kuat untuk mutasi adalah karena pernikahan, yaitu mengikuti domisili dimana suami tinggal. Adanya mekanisme tersebut membuat kami berdua kemungkinan akan tinggal terpisah hingga beberapa bulan setelah akad.
Perombakan drastis dari struktural keorganisasian di RZI membuka posisi yang lowong bagi Nie di Bandung, namun konsekuensinya mutasi tersebut berjalan dengan sangat mendadak. Nie menerima kabar hari jumat, rabu pekan berikutnya Ia telah mulai bertugas di Bandung. Di satu sisi hal ini patut kami syukuri, karena masalah mutasi antar daerah di RZI pada kondisi normal dapat memakan waktu lebih dari 2 bulan. Hal ini kami yakini sebagai bagian dari kemudahan jalan yang Allah berikan bagi pernikahan kami, karena dengan begitu pasca-pernikahan kami tidak perlu tinggal terpisah antara Jakarta-Bandung karena harus menunggu izin mutasi.
Namun, ada tantangan tersendiri yang kami hadapi dengan kemudahan tersebut. Sejujurnya keberadaan kami berdua di kota yang sama membuka peluang bagi kami untuk sering bertemu. Padahal amat kami sadari, belum ada ikatan apapun yang menghalalkan hubungan kami berdua. Saat dimana kami harus sama-sama memendam keinginan untuk bertemu adalah momen yang paling menyesakkan hati. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain berdoa agar akad bisa segera dilaksanakan dan Allah berkenan menjaga kami agar tetap pada jalan yang diridhoinya.
Puncak dari tekanan tersebut membuat luapan emosiku rasanya ingin meledak. Bersyukur bahwa taushiyah dari Nie selalu bisa meredakan emosiku sebelum itu melukai perasaan orang lain. Pekan ketiga dan keempat ramadhan, aku memberanikan diri untuk melobi kembali keputusan orangtuaku. Setelah proses lobi yang sulit, dengan argumen-argumen yang kuungkapkan terkait keberjalanan skripsiku, akhirnya orangtuaku membuka jalan agar prosesi akad bisa dilakukan. Pekan keempat aku mulai mengurus kelengkapan administrasi ke KUA Jatinegara. Atas undangan Nie, malam takbiran aku berangkat ke Padalarang, menemui kedua orangtua Nie untuk membicarakan masalah ini.
Aku menginap serumah dengan kedua calon orangtuaku tersebut, sedangkan Nie menginap di rumah Emak (kakak perempuan mamahnya). Saat itu menjadi momen dimana aku bisa berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Pembicaraan itu berjalan dengan lancar, pada prinsipnya mereka amat setuju agar hubungan kami segera dikuatkan dengan ikatan pernikahan. Namun mereka berharap agar dapat membicarakan maksud tersebut langsung antar orangtua. Kemudian disepakati pertemuan antar keluarga dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2009. Pertemuan tersebut menjadi ‘khitbah ulang’ dimana keluarga besar dan beberapa pemuka masyarakat dilibatkan, sebagaimana tradisi yang berlaku tanah betawi.
Idul Fitri, 1 Syawwal 1430 Hijriyah adalah salah satu lebaran paling mengharukan dalam hidupku. Aku memang tidak berkumpul dengan keluarga besar ayah di Kampung Melayu atau keluarga besar Ibu di Semarang. Tapi di Padalarang ini, aku menemukan kehangatan sebuah keluarga besar baru. Keluarga besar dengan semua pernak-pernik kultural yang benar-benar asing bagiku. Keberterimaan yang amat aku syukuri, saudara-saudara baru, keponakan-keponakan baru yang lucu (Yasmin, Aiza, Aldin, Shafa, Najwa dll), semuanya menjadi suatu bentuk nyata keberkahan dari jalinan silaturahim dalam pernikahan yang akan Aku dan Nie langsungkan.
Tiada kata yang terucap selain syukur yang tiada habis-habis. Aku bersyukur karena sosok Nie lah yang InsyaAllah akan menemaniku bertahun-tahun mendatang, membina keluarga yang semoga sakinah, membina sekeping kecil batu bata dari sebuah bangunan istana peradaban, menyusun piramida mimpi kami hingga ridho-Nyalah yang menjadi puncak cita-cita kami kelak. Aku bersyukur atas proses yang mungkin dimata orang terlihat ‘tidak terlalu lancar’, namun bagi kami berdua menjadi sangat berkesan karena menjadikan perjuangan kami menuju akad bukan menjadi proses yang biasa-biasa saja. Aku bersyukur bahwa dari setiap momen yang kami lewati Allah menjaga rasa syukur dalam lisan dan hati kami, semoga Ia berkenan untuk tidak menempatkan kami termasuk barisan orang-orang yang kufur atas nikmatnya hingga ajal menjemput.
Yaa Rabb, ampuni kami jika ada noda yang mengotori niat kami, izinkan kami untuk tetap berada dalam bimbingan-Mu, hingga ajal memupus jasad kami dari dunia ini. Ya Rabb, peluklah mimpi-mimpi kami dan catatlah langkah-langkah kami untuk meraihnya menjadi amal yang memberatkan timbangan kebaikan di hari penentuan kelak. Sesungguhnya kami lemah, lalu Engkaulah yang menguatkan. Sesungguhnya kami lumpuh, lalu Engkaulah yang memampukan. Sesungguhnya kami buta, namun Engkaulah yang memberi petunjuk atas jalan keselamatan. Sesungguhnya kami bisu, sebelum akhirnya Engkau memberikan kesempatan bagi kami untuk melafadzkan segenap rasa syukur kami.
http://pernikahan.ardee.web.id
Bismillah…
Dengan segala kerendahan hati, memohon Ridho Allah SWT, Restu Orangtua dan Doa dari segenap rekan/kerabat/mitra, Insya Allah akan menikah:
SRI HANIFAH
Putri pertama bpk. Edang Syaipullah & Ibu Musiroh
[BEM KEMA UNPAD 05-08, Sastra UNPAD 2003, FIM IV]
dengan
ARDIAN PERDANA PUTRA
Putra pertama bpk. Aris Munandar & ibu Dyah Dwi K.
[Kabinet KM ITB 04-07, Biologi ITB 2003, FIM VII]
PROSESI AKAD
Hari Ahad, 18 Oktober 2009, pukul 10.00
di Rumah Mempelai Wanita,
Jln. Kapuk Rawa Gabus Rt 007/011 No.96 kel:Kapuk, Kec: Cengkareng, Jakbar
Mau taaruf juga 🙂