Resume buku Politik Antar Bangsa

Bagian V: Moral Internasional dan Opini Umum Dunia

Aturan perilaku yang berbeda-beda dalam masyarakat cenderung saling bebenturan, sehingga suatu masyarakat dapat berhadapan dengan dua aturan yang saling bertolak belakang di saat bersamaan. Setiap individu masyarakat akan cenderung berpihak pada salah satu dan mengabaikan yang lain, tergantung kekuatan relatif dari masing-masing aturan tersebut. Menurut Morgenthau, sepanjang abad pertengahan hingga abad ke-19, peradaban barat tidak berhasil menghilangkan perebutan kekuasaan dalam negeri, tetapi telah terjadi pergeseran metode perebutan kekuasaan yang relatif lebih maju.

Pada tataran teori, banyak konsep yang berkembang mengenai norma yang seharusnya berlaku dalam hubungan internasional. Namun seberapa efektifnya konsep-konsep tersebut mengendalikan para pelakunya masih banyak dipertanyakan. Pada prakteknya, ada semacam penghalang para negarawan yang membatasi gerak mereka sehingga tidak bertindak semaunya dalam memperjuangkan eksistensi negaranya dalam politik internasional. Dalam catatan sejarah, hambatan-hambatan norma tersebut relatif lebih efektif dalam menjaga perdamaian antar bangsa.

Evolusi Konsep Perlindungan Jiwa Manusia

Dalam Situasi Damai

Pada era dimana Eropa dikuasai oleh kerajaan-kerajaan, pembunuhan terhadap lawan politik atau musuh kerajaan menjadi suatu hal yang lazim dalam hubungan antar negara. Pada era selanjutnya (era republik), berangsur-angsur cara tersebut hilang dan dianggap sebagai perbuatan tercela serta melanggar moral dalam politik internasional. Hal ini membuat kalangan aristokrat atau penguasa negara cenderung tidak memilih cara ini demi untuk menjaga nama baiknya dimata bangsa lain.

Dalam Situasi Perang

Pada abad pertengahan, perang dianggap suatu hal yang melibatkan semua lapisan masyarakat dari dua pihak/negara yang bertikai. Hal ini menyebabkan pada masa tersebut perang dapat berakhir dengan suatu pembantaian massal dari pihak yang kalah, termasuk perempuan dan anak-anak yang sebenarnya tidak terlibat dalam perang tersebut. Sejak perang Tiga Puluh Tahun, terjadi perubahan mendasar dengan adanya batasan bahwa perang terjadi hanya antara angkatan bersenjata yang berkonflik. Salah satu konsekuensi dari aturan ini, warga sipil yang tidak ikut mengangkat senjata harus dilindungi keselamatannya. Konsep ini kemudian dituangkan dalam berbagai perjanjian serta termanifestasikan dengan terbentuknya Palang Merah Internasional. Selain itu, dalam perjanjian antar negara setelah abad ke-18 juga muncul poin-poin tentang pembatasan kerusakan akibat perang, seperti pembatasan perang laut (Deklarasi Paris 1856), pembatasan persenjataan (deklarasi Den Haag 1899). Meski demikian, catatan Morgenthau tidak ada konsekuensi yang tegas sehingga pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak amat mungkin terjadi.

Kutukan Moral atas Perang

Pembatasan melalui norma sebagaimana disebutkan sebelumnya telah berdampak pada munculnya keraguan kalangan negarawan mengenai kebijakan yang harus diambil seputar konflik luar negeri. Hal ini mendorong negara-negara Eropa cenderung mengambil langkah yang mencegah terjadinya perang, meskipun langkah tersebut terkadang merugikan mereka. Kehancuran sistemik yang disebabkan perang pada masa sebelumnya membuat negara-negara cenderung mengeluarkan kecaman atas peperangan yang terjadi di negara lain, untuk menghindari imbas negatif pada negaranya.

Moralitas Internasional dan Perang Total

Batasan-batasan moral internasional yang diharapkan dapat mencegah pecahnya perang, berhadapan dengan munculnya gagasan mengenai adanya keterikatan antara industri serta sumberdaya sipil dengan kekuatan angkatan bersenjata suatu negara. Perkembangan gagasan ini menurut Morgenthau melemahkan batasan norma internasional seiring meningkatnya pembenaran-pembenaran dari pihak-pihak yang melancarkan aksi agresif yang melanggar batasan norma tersebut. Dampak lain dari perkembangan teknologi perang modern dalam pandangan Morgenthau, yaitu perkembangan moralitas perang modern.

Puncaknya adalah saat Perang Dunia II dimana teknologi sudah sedemikian berkembang. Kemajuan teknologi memungkinkan pihak-pihak yang bertikai tidak berhadapan satu-lawan-satu di medan perang. Senjata pemusnah massal dapat diluncurkan hanya dengan menekan tombol sehingga jatuhnya korban sipil oleh pihak yang bertikai tidak mampu ditahan dengan batasan norma yang ada. Hal ini membuat batasan norma internasional dapat berlaku dimasa damai tetapi menjadi sangat tidak efektif ketika perang terjadi.

Moralitas Universal vs Universalisme Nasionalis

Etika Pribadi dalam Dunia yang Aristokratis

Sistem pemerintahan monarki dan aristokrasi yang dominan digunakan pada abad ke-17 dan ke-18 memiliki suatu kelebihan dalam beberapa sisi. Pada era ini dimungkinkan pejabat dari suatu negara/kerajaan memiliki kerabat yang menjadi pejabat di negara yang berbeda. Selain itu, praktek suap kepada diplomat atau pejabat dari negara lain merupakan suatu hal yang lazim terjadi. Hubungan diplomatik antara dua negara dapat berjalan damai dengan adanya hadiah-hadiah diplomatik yang diberikan kepada para diplomat asing. Kombinasi kedua kondisi tersebut menciptakan sistem pengendali yang cukup efektif untuk mencegah perang di masa tersebut. Konflik antar negara dapat berakhir dengan jalan kompromistis yang lebih damai dibandingkan berakhir dengan peperangan.

Pada era aristokrasi ini, moralitas internasional menjadi tanggung jawab penguasa tinggi (raja atau segolongan kecil aristokrat). Kedua kondisi diatas membentuk sistem nilai yang bertujuan menjaga eksistensi kalangan aristokrasi yang bersifat supranasional. Kepatuhan seorang kepala negara atau penentu kebijakan terhadap norma diatas menjadi penentu harga diri dan martabat kepala negara diantara kepala negara lain serta kalangan aristokrat disekitarnya. Secara tidak langsung, ini menjadi batasan norma internasional yang efektif pada masa tersebut.

Penghancuran Moralitas Internasional

Perubahan sistem kenegaraan menjadi sistem demokratis membuat kekuasaan pemerintah dapat diduduki oleh masyarakat luas melalui mekanisme pemilihan. Hal ini banyak berdampak pada sistem nilai yang sebelumnya ada. Kepemimpinan negara yang sebelumnya berorientasi loyalitas terhadap golongan/dinasti tertentu berubah menjadi loyalitas terhadap nilai-nilai kolektif dan ideologi negara. Gratifikasi atau praktek suap yang sebelumnya dianggap wajar berubah menjadi suatu praktek pengkhianatan seorang diplomat terhadap negaranya.

Pada era perkembangan demokrasi pasca abad ke-19, nasib pemerintahan ditentukan oleh hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Tidak seperti masa sebelumnya, pencopotan jabatan publik akibat kebijakan yang diambil menjadi suatu kewajaran. Kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara tidak lagi menjadi tanggung jawab individu kepala negara tetapi tanggung jawab dari eksekutif dan legislatif kepada seluruh rakyat yang dinaunginya. Hal ini membuat batasan norma yang ada pada era aristokrasi tidak lagi efektif. Hal ini menurut Morgenthau merupakan kemunduran dalam hal hubungan antar negara.

Kehancuran Masyarakat Internasional

Dampak lebih jauh dari perubahan dari era aristokrasi menuju era demokrasi tidak saja meruntuhkan sistem moral internasional, tetapi juga masyarakat yang ada didalamnya. Masyarakat internasional, menurut Morgenthau mengalami perubahan dari masyarakat yang kosmopolitan menjadi negara bangsa yang independen yang mengusung nilai Nasionalisme masing-masing. Hal ini terjadi seiring semakin lemahnya ikatan antar penguasa dari berbagai negara yang tidak lagi berdasar kekerabatan.

Kemenangan Nasionalisme atas Internasionalisme

Para ideolog demokrasi, berpendapat demokratisasi akan membentuk masyarakat internasional yang stabil dan minim konflik. Pada kenyataannya, yang terjadi cenderung sebaliknya. Tidak adanya sistem moral internasional yang menggantikan sistem aristokrasi di era sebelumnya membuat negara-negara yang baru terbentuk cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan etika nasionalnya masing-masing. Morgenthau berpendapat bahwa negara-negara tersebut akan cenderung memperjuangkan eksistensi kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional.

Ada tiga perbedaan mendasar dari era demokrasi dibandingkan dengan era sebelumnya. Pertama, meningkatnya kemampuan negara dalam memberlakukan tekanan moral kepada anggota-anggotanya. Kedua, menguatnya loyalitas individu pada negaranya dapat menjadi pembenaran seseorang untuk mengabaikan etika internasional. Konflik moral antara etika internasional dengan kepentingan nasional akan cenderung dimenangkan oleh kepentingan nasional.

Transformasi Nasionalisme

Negara-negara nasional yang terbentuk pada abad ke-19 dan abad ke-20, menurut Morgenthau memiliki kecenderungan yang sama untuk mentransformasi sistem nilainya masing-masing menjadi gagasan sistem moral supranasional sesuai penafsiran masing-masing negara. Dampaknya, politik internasional menjadi arena kompetisi bagi berbagai konsep sistem moral internasional tersebut. Hal ini menjadi legitimasi dari negara yang kuat untuk mendorong negara lain menerima konsep mereka. Perang Dunia II menjadi momentum dimulainya perlombaan sistem moral dan politik yang berakhir pada dominasi dua kekuatan besar, Demokrasi dan Sosialisme.

HAM dan Moralitas Internasional

Pada era selanjutnya, masalah HAM dianggap urusan yang tak terpisahkan dari masalah politik luar negeri dan moralitas internasional. Realita aktual menunjukkan tidak semua negara demokratis tumbuh menjadi negara sejahtera, ketika pada saat yang sama, negara otoriter/tidak demokratis justru dapat menjadi negara makmur. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa negara yang dianggap superior (Amerika menurut pandangan Morgenthau) tidak dapat memaksakan sistem nilainya diadopsi oleh negara lain, tetapi mereka dapat menarik perhatian bangsa lain akan keunggulan sistem nilai yang mereka miliki.

Salah satu sistem nilai yang dimaksud Morgenthau adalah HAM yang dalam pandangannya merupakan suatu nilai yang telah diterapkan secara mapan di Amerika. Ia membantah pemikiran Woodrow Wilson tentang cara yang harus ditempuh Amerika untuk membuat dunia aman bagi keberjalanan demokrasi. Selain karena masalah HAM tidak dapat dipaksakan untuk diterapkan pada semua negara, Morgenthau meragukan Amerika (simbol negara adikuasa) dapat bersikap konsisten dalam penerapan HAM ketika menghadapi pihak-pihak yang berbeda.

Contoh gagal dari pemaksaan sistem nilai oleh Amerika kepada negara lain adalah pada kasus pembantaian rakyat Kamboja sepanjang 1970-an akhir hingga 1980-an awal. Kamboja yang pada awalnya tidak terlibat konflik Vietnam-AS, dipaksa untuk terlibat ketika AS memborbardir wilayahnya dan didorong untuk membantu AS dalam usaha memenangkan perang Vietnam. Uluran bantuan pasca kehancuran sistemik yang dirasakan Kamboja, tidak lantas membuat AS dapat menghapus ‘dosanya’ tersebut. Pelajaran yang dapat diambil, para negarawan harus cermat dalam menentukan kebijakan yang diambilnya dan harus siap bertanggung jawab terhadap dampak tak terduga dari kebijakan yang diambil.

Opini Umum Dunia

Istilah ‘opini umum dunia’ dapat diartikan sebagai opini kolektif yang menyatukan berbagai pihak yang berbeda dalam suat kemufakatan yang cakupannya melampaui batas-batas negara. Bagi beberapa pihak, konsep opini umum dunia dianggap sebagai kunci dari berjalannya Liga Bangsa-Bangsa dan berbagai perjanjian antar negara. Tetapi Morgenthau berpendapat bahwa konsep ini merupakan pemikiran yang keliru dan tidak terbukti sepanjang catatan sejarah. Menurutnya, meski konsep opini umum dunia benar-benar eksis sekalipun, keberadaannya diragukan dapat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri dari negara yang ditentangnya.

Kesatuan Psikologis Dunia

Berbagai bentuk kebutuhan manusia untuk mempertahankan kehidupannya memunculkan motif sosial yang dapat menjadi pemicu konflik antar sesamanya. Pola ciri psikologis yang cenderung seragam antara manusia dari berbagai bangsa mendasari lahirnya teori tentang adanya opini umum dunia. Akan tetapi pada kenyataannya, konsep moral dan politik yang sama dapat memiliki arti berbeda dalam masyarakat yang berbeda.

Ambiguitas Penyatuan Teknologi

Banyak ahli memprediksi bahwa seiring pesatnya perkembangan teknologi, arus komunikasi dan informasi akan semakin tanpa batas. Hal ini akan mendorong terbentuknya opini bersama dari berbagai belahan dunia yang cenderung homogen. Morgenthau tidak sepakat dengan anggapan ini. Menurutnya perkembangan regulasi/aturan akan mengikuti perkembangan teknologi, sehingga informasi yang tersebar kepada publik cenderung terbatasi oleh kepentingan pihak yang kuat/berpengaruh. Selain itu adanya sistem nilai (adat istiadat, norma lokal, ideologi, agama) yang berbeda dari tiap komunitas dan individu menyebabkan distorsi penafsiran dari informasi tersebut, yang membuat ‘opini umum internasional’ sulit untuk benar-benar terwujud.

Hambatan Nasionalisme

Suatu peristiwa besar dalam hubungan internasional seperti konflik atau peperangan akan memicu respons dari berbagai regional atau negara. Umumnya respon yang muncul terutama datang dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan dua kubu yang bertikai atau berpotensi terkena imbas dari konflik tersebut. Hal ini mendorong pihak-pihak yang khawatir tersebut untuk menggalang dukungan internasional untuk mengecam terjadinya konflik tersebut, yang kemungkinan akan mendapat respons yang berbeda-beda dari berbagai negara lainnya. Bagai sebagian ahli, hal ini akan mendorong opini umum internasional untuk terbentuk. Tetapi hal ini sekali lagi dibantah oleh Morgenthau, karena menurutnya tiap negara tetap memiliki kecenderungan untuk merespons masalah internasional sebatas yang terkait kepentingan nasionalnya saja.

Kesimpulan ‘Moral Internasional dan Opini Umum Dunia’

Ada suatu pola perubahan sistem moralitas internasional seiring perubahan sistem politik pemerintahan dari negara-negara di dunia. Pada era aristokrasi (Abad Ke-17 dan Ke-18), terbentuk suatu sistem moralitas internasional yang kuat karena adanya masyarakat internasional yang kosmopolitan dan ikatan kekerabatan antar pemimpin negara-negara di Eropa. Hal ini berubah pada perkembangan era demokrasi, dimana kepemimpinan negara tidak lagi terikat dengan hubungan kekerabatan dan tiap negara memegang sistem nilai nasionalnya masing-masing. Perubahan ini berdampak pada melemahnya sistem moralitas internasional yang sebelumnya secara efektif menjaga perdamaian internasional.

Faktor teknologi yang semakin pesat berkembang dan kekosongan sistem moralitas internasional pasca era aristokrasi menyebabkan kekuatan sistem nilai nasional di masing-masing negara semakin menguat pengaruhnya, sehingga negara cenderung membawa sistem nilai nasionalnya kedalam sistem nilai internasional. Hal ini mendorong terjadinya kompetisi antar berbagai sistem nilai untuk dan muncul usaha untuk membentuk sistem moralitas internasional yang baru sesuai sistem nilai nasional masing-masing. Morgenthau berpendapat pembentukan sistem nilai internasional yang baru akan sangat sulit terwujud, karena sistem moral yang sama dapat memiliki arti yang berbeda bagi masyarakat/bangsa yang berbeda.