Policy Paper

Bencana sebagai Masalah Pertahanan Negara

dalam UU No. 3/2002 dan UU No. 24/2007

Oleh    : Ardian Perdana Putra

NIM    : 1 2010 02 03 002

Prodi    : Disaster Management for National Defense

Pendahuluan

Salah satu tujuan NKRI didirikan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Untuk menjalankan misi tersebut, pertahanan negara yang kokoh menjadi suatu prasyarat mutlak. Baik sipil maupun militer masing-masing memiliki peran dalam pertahanan negara. Pembagian peran antara dua komponen ini kemudian tuangkan dalam konsep Sistem Pertahanan Semesta yang merupakan manifestasi dari pelibatan seluruh elemen bangsa dalam menjaga kedaulatan, luas teritorial dan keselamatan warga negara serta sumberdaya nasional.

Penanggulangan bencana memiliki kaitan erat dengan masalah keselamatan warga negara. Pada skala tertentu bencana dapat berdampak pada stabilitas nasional serta menjadi ancaman bagi keberjalanan pembangunan. Hal ini telah kita lihat buktinya pada Gempa Haiti 2010, dimana hampir semua sektor pemerintahan lumpuh dan tidak dapat menjalankan fungsinya, sehingga Haiti masuk dalam kategori failed state. Karena itu, penanggulangan bencana perlu dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masalah pertahanan negara.

Sekilas UU No. 3/2002 dan UU No. 24/2007

Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara merupakan revisi dari Undang-Undang No. 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, yang sebelumnya juga telah mengalami revisi kecil melalui keluarnya Undang-Undang No. 1/1988. Secara garis besar, Undang-Undang No. 3/2002 membahas mengenai penyelenggaraan Pertahanan Negara dari landasan nilai, kelembagaan, distribusi kewenangan dan aturan hukum. Dalam UU ini dijabarkan konsep Sistem Pertahanan Semesta beserta komponen yang terlibat dan alur pengembangan sistemnya.

Secara garis besar, Undang-Undang No. 24/2007 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana membahas mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana dari landasan nilai, kelembagaan, distribusi kewenangan dan aturan hukum. Pasal 1 berisi pengertian dari istilah-istilah yang menjadi acuan dalam undang-undang ini. Pasal 2-3 berisi nilai dasar, prinsip-prinsip dan tujuan dari penanggulangan bencana. Pasal 5-9 mengatur distribusi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta tanggung jawab yang meliputi kewenangan tersebut.

Pasal 10-25 membahas mengenai institusi pemerintah yang secara khusus ditunjuk untuk menangani penanggulangan bencana, baik ditingkat pusat maupun daerah beserta struktur, tugas dan fungsinya. Institusi tersebut adalah BNPB di pusat dan BPBD di daerah. Pasal 26-30 menjelaskan mengenai hak dan distribusi peran dari pihak diluar pemerintah, yaitu masyarakat, lembaga usaha (perusahaan) serta lembaga internasional. Pasal 31-59 membahas mengenai prinsip dasar penyelenggaraan penanggulangan bencana dan tahapan-tahapan beserta alur penyelenggaraan dari tiap tahap. Pasal 60-85 berisi pendanaan, pengawasan, hukum dan aturan pelengkap.

Irisan Kedua Undang-Undang

Keselamatan Masyarakat

Dalam Undang-Undang No. 3/2002, pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman dan gangguan terhadap bangsa dan negara“, sedangkan dalam Undang-Undang No. 24/2007, pasal 1 ayat 1 bencana didefinisikan sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis“. Dari kedua pasal dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan bagian dari masalah pertahanan nasional, karena bencana berpotensi ‘mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat’ yang berarti ancaman terhadap ‘keselamatan segenap bangsa’. Maka dari itu, dampak yang ditimbulkan bencana, yaitu ‘timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis’ adalah salah satu poin yang harus dicegah.

Penanggungjawab dan Pelibatan Berbagai Elemen

Dalam kedua undang-undang tersebut, pemerintah diposisikan sebagai penanggung jawab utama sebagi pelaksana undang-undang. Dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 3/2002 disebutkan “…pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara…“, sedangkan pasal 5 dari UU No. 24/2007 membahas peran pemerintah, pemerintah daerah menjadi penanggungjawab penanggulangan bencana.

Dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 3/2002 disebutkan “…Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya…“, sedangkan Bab IV, V dan VI dari UU No. 24/2007 membahas peran pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi internasional dan swasta. Dari UU tersebut pelibatan berbagai elemen.

Kekurangan dari Kedua UU

Pendefinisian Bencana sebagai Masalah Pertahanan

Dalam UU No. 3/2002 pasal 7 ayat 3 tentang Ancaman Non-Militer tidak dijabarkan secara jelas mengenai apa saja cakupan dari ancaman non-militer tersebut. Sebagai contoh, apakah bencana alam masuk didalamnya? Perlunya masalah kebencanaan secara khusus dicantumkan dalam bahasan pertahanan pada UU No. 3/2002 nantinya akan terkait dengan peran TNI dalam penanganannya.

Komando dalam Penanggulang Bencana

Perlu ada penegasan mengenai struktur komando dalam penanganan situasi darurat. BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana. Akan tetapi koordinasi antar lembaga sering kali terbentur oleh masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini sulit untuk berharap BNPB dapat menjadi solusi menyeluruh dari semua permasalahan bencana di Indonesia. Jika memang BNPB menjadi pusat koordinasi, maka hal ini secara khusus butuh untuk ditegaskan.

Dalam UU No. 24/2007 hanya dibahas mengenai peran lembaga internasional, NGO internasional dan Perusahaan. Yang luput dari pembahasan dalam UU tersebut adalah NGO/LSM lokal dan lembaga-lembaga kerelawanan. Kasus-kasus dilapangan menunjukkan seringkali NGO atau Lembaga non-pemerintah kurang sinergis dan tidak berkoordinasi dalam penanganan bencana. Menurut opini penulis hal ini perlu dipertegas, program dari NGO atau Lembaga non-pemerintah wajib terkoordinasi dan sinergis dengan langkah yang diambil pemerintah. Hal ini harus diatur sedemikian rupa dapat berjalan efektif tanpa menghambat aksi NGO atau Lembaga non-pemerintah tersebut.

Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Bencana

UU No. 24/2007 sama sekali tidak menyebutkan peran penting TNI sebagai bagian vital dalam penanggulangan bencana dan hubungannya dengan BNPB. Selain itu, karena bencana merupakan masalah serius untuk pertahanan nasional, maka butuh ada aturan mengenai pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung sistem pertahanan RI.

Pengendalian Penyaluran Bantuan

Pelaporan penerimaan dan pendayagunaan sumbangan/bantuan yang dikoordinir oleh pihak non pemerintah butuh untuk diatur agar menjamin transparansi dan ketersampaian bantuan tersebut. Harus ada kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan penggalangan bantuan untuk melaporkan penerimaan dan pendayagunaan bantuan bencana kepada publik. Ada baiknya BNPB diberikan peran sebagai pemegang otorisasi/pengesahan laporan pendayagunaan dana/logistik bantuan dari pihak-pihak tersebut, sebelum dilaporkan ke publik. Laporan yang tidak diotorisasi oleh BNPB sebaiknya dianggap ilegal dan tidak layak dilaporkan ke publik.

Penutup

Sesuai konsep Sistem Pertahanan Semesta, keterlibatan semua pihak dalam penanggulangan bencana menjadi suatu hal kewajaran, bahkan suatu keharusan. Namun pengaturan peran dari berbagai komponen yang terlibat (baik itu TNI, BNPB dan berbagai instansi terkait) butuh untuk dikelola dengan baik agar penyelenggaraannya dapat berjalan efektif, efisien dan tepat sasaran. Langkah proaktif dari elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam mengurangi dampak merugikan dari bencana juga diharapkan dapat membantu pemerintah dalam proses penanggulangan bencana. Reevaluasi terhadap aturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu terus dilakukan untuk menemukan format yang paling optimal.