Sumber: Google

Perseteruan antara bangsa Arab dan Israel di timur tengah telah berlangsung hampir seabad, namun sesungguhnya akar permasalahannya telah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Perebutan ‘tanah yang dijanjikan’ antara bangsa Arab Islam dan bangsa Israel telah menjadi ideologi yang menyatu dengan kepercayaan keagamaan dari kedua bangsa ini. Hal ini tertanam turun temurun yang membuat perdamaian di tanah Palestina merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.

Semenjak keruntuhan imperium Turki Ottoman pada tahun 1924, bangsa Israel mulai bermigrasi ke tanah Palestina sebagai ‘tanah yang dijanjikan’ dalam kepercayaan mereka. Hal ini merupakan mustahil dilakukan ketika Ottoman masih berdiri, karena penguasa terakhir Ottoman, Sultan Mahmud II mengeluarkan larangan penjualan tanah di wilayah Al Quds (Palestina) kepada bangsa Israel. Setelah Turki runtuh dan pecah Perang Dunia II, Palestina berada dibawah otoritas Inggris yang cenderung mendukung eksodus bangsa Israel dari Eropa ke Palestina.

Migrasi besar-besaran bangsa Israel menimbulkan resistensi dari penduduk Arab setempat dan menimbulkan reaksi dari negara-negara disekitar Palestina. Hingga saat ini, konflik antara dua bangsa yang berkerabat ini masih tetap berlangsung dengan kerugian yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Dari perspektif Manajemen Bencana, konflik Arab-Israel masuk dalam kategori bencana sosial, karena meskipun kekuatan militer berperan, namun motivasi terjadinya konflik tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakat sipil yang hidup diwilayah tersebut. Maka, untuk menemukan solusinya, pendekatan militer bukanlah suatu langkah yang tepat. Usaha rekonsiliasi melalui generasi muda (remaja dan anak-anak) dapat menjadi salah satu langkah yang tepat untuk memulai itu semua.

[Notes: Ditulis sebagai tugas makalah dadakan dari Rektor UNHAN dalam rangka Kuliah Umum Let.Jend. (purn) TB Silalahi]