Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan taring, lalu apa kira-kira yang ditinggalkan seorang tokoh diakhir hidupnya? Pilihannya mungkin ada dua, bisa nama baik atau sebaliknya, jangan-jangan reputasi buruk. Mungkin saya bicara ngawur dan kelewatan, tapi apa yang saya tulis ini bisa menjadi refleksi kita, goresan macam apakah yang kita tinggalkan di lembaran sejarah hidup kita? Apa yang sudah kita tinggalkan bagi orang-orang disekitar kita? Dan jika kita menjadi seorang pemimpin, kesan seperti apakah yang telah kita tinggalkan semasa kita mengemban amanah dari umat yang kita pimpin. Tulisan ini sekedar tulisan iseng saja, sebagai refleksi buat saya pribadi. Syukur-syukur kalau ada yang bisa mengambil kebaikan dari tulisan saya ini. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kelewatan.

Bagaimana reputasi pemimpin negeri kita didunia maya? Mungkin akan langsung ada yang nyeletuk,
Tanya aja ke mbah Gugel (Google.com maksudnya)!”. Anda mungkin akan mengangguk-angguk setuju, tapi kemudian bisa jadi akan tersenyum masam melihat hasilnya. Cek saja kata kunci ‘kebaikan SBY’ dengan Google, dan tahukah apa yang akan anda dapatkan? Wow… anda akan menemukan saran (suggestion) “Mungkin maksud anda adalah keburukan SBY“. Membaca saran itu, saya jadi langsung teringat pernyataan Dipo Alam sang Sekretaris Kabinet yang mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang boikot iklan bagi media yang menjelek-jelekkan pemerintah itu.

Saya juga langsung teringat dengan diskusi yang lumayan asyik di Apakabar Indonesia Pagi-nya TVONE, hari Ahad kemarin (27/02/2011). Overall komentar Effendi Gozali dan redaktur Republika (saya lupa namanya) lumayan berbobot cukup mengena dengan topik yang dibahas. Sebenarnya ada sedikit ‘gangguan’ sih dengan adanya satu ‘anak bawang’ (wapemred Jurnal Nasional) yang jadi Narasumber, tapi gaya bicaranya belepotan, nggak berbobot, argumentasinya agak maksa membela pemerintah dan penuh dengan jeda “ngg….” kayak menteri Murdiyono era Soeharto. Satu momen yang cukup lengket di ingatan saya adalah saat Effendi Gozali menampilkan sebuah karikatur sindiran tentang pernyataan Dipo Alam diatas, dengan menyitir pepatah “buruk muka cermin dibelah“. Yah, bisa jadi mungkin memang begitulah ‘wajahnya’ kabinet dan legislatif kita saat ini.

Pernyataan Dipo Alam jadi suatu perilaku yang tidak seharusnya, karena pers memang mengemban peran sebagai ‘cermin’ terhadap perilaku pesohor negeri ini. Meskipun saya tidak menafikan adanya ‘jurnalis nakal’ yang tindakannya mencoreng wibawa insan pers, tetapi itupun sesungguhnya juga menjadi cerminan kondisi negeri kita. Siapa lagi yang akan memanfaatkan (atau termanfaatkan) oleh liputan para ‘jurnalis nakal’ itu kalau bukan para ‘politisi busuk’ dan ‘pengusaha hitam’ yang berkepentingan untuk memelintir berita? Tanpa bermaksud menuduh, media massa yang secara kepemilikan terhubung dengan golongan politik tertentu, sangat wajar untuk disimak dengan cara yang cermat. Cermat disini bukan dalam artian ‘dicurigai’ tetapi lebih ‘dicerna secara lebih berhati-hati’.

Kembali ke masalah saran dari Google diatas, kita dapat menafsirkannya dengan adanya kemungkinan artikel didunia maya yang mengangkat ‘Kebaikan SBY’ tidak lebih banyak dari artikel tentang ‘keburukan SBY’, atau bisa juga artikel ‘kebaikan SBY’ kalah populer dibandingkan yang mengangkat keburukannya. Hal ini sebenarnya cenderung wajar-wajar saja, mengingat anekdot “bad news in a good news, good news is not a news“. Jadi, suatu informasi yang mengangkat hal yang negatif akan cenderung lebih mudah menarik perhatian orang dibandingkan informasi yang positif. Kesimpulan akhirnya, bagi siapapun anda, jika menjadi tokoh berhati-hatilah dengan perilaku dan reputasi anda.