Mimpi apa saya kemarin-kemarin? Seumur-umur saya nggak pernah kepikiran dapat undangan buka puasa bareng presiden. Mimpi jadi presiden sih iya, tapi jadi tamu di Istana Negara sepertinya gak ada dalam rencana hidup saya. Saya anggap saja ini semacam studi banding sekaligus initial visit sebelum – kapan-kapan – ngantor disana.

Anyway, ternyata Istana Presiden RI nggak semegah yang saya bayangkan sebelumnya. Secara garis besar, ruangan didalam istana dibagi menjadi dua, yang pertama adalah ruangan semacam aula untuk menerima tamu dalam jumlah besar dan ruangan yang lebih private. Untuk acara penerimaan peserta LEMHANNAS dan UNHAN, dilakukan di ruang aula. Acara yang berformat suaaaaaangat sangat formal itu dibuka dengan laporan perwakilan dua lembaga yang diundang, yang dalam hal ini diwakilkan oleh Gubernur LEMHANNAS, -lupa-nama-depannya- Supandji (saudara kandung mantan jaksa agung Hendarman Supandji). Selanjutnya adalah paparan hasil seminar LEMHANNAS, kemudian arahan Pak Beye bagi peserta didik kedua lembaga.

Adapun acara shalat ashar, buka puasa dan shalat maghrib berjamaah dilakukan di ruang yang menurut saya peruntukannya pada hari-hari biasa untuk acara yang lebih privat. Ruangan yang letaknya berada lebih dalam dari ruangan pertama dari segi interior elegan dan cukup apik. Gayanya klasik dengan akustik ruangan yang cukup bagus. Bisa dikatakan tidak berlebihan untuk ‘kantor’ seorang presiden, bahkan bisa dikatakan cukup sederhana, jika dibandingkan dengan ‘White House’-nya presiden AS. Ulasan mengenai interior ini sebaiknya nggak perlu anda pedulikan, berhubung saya sama sekali nggak ada riwayat jadi pengamat interior. Sekedar pandangan awam sekilas.

Seminar LEMHANNAS yang hasilnya dipaparkan pada kesempatan tersebut, mengangkat tema penanggulangan terorisme. Pada paparan peserta LEMHANNAS, saya tidak melihat aspek inovasi atau hal yang baru dalam paparan tersebut. Yang disampaikan kebanyakan adalah hal-hal normatif. Selain itu, dalam pandangan saya, apa yang disebut dalam paparan tersebut ‘langkah-langkah strategis’ yang perlu dilakukan pemerintah, pada hakikatnya hal-hal yang tanpa disebutkan dalam seminar pun sudah sepatutnya menjadi fungsi-fungsi inherent dalam pemerintahan, misalnya koordinasi lintas lembaga, kerjasama TNI-Polri, pelibatan tokoh agama, dll. Hal tersebut memancing komentar pak Presiden – yang dalam pandangan saya sebenarnya merupakan kritik pedas bagi institusi LEMHANNAS – , yang mengatakan bahwa sebagian besar solusi yang dipaparkan sudah dijalankan oleh pemerintah.

Saya sebenarnya nggak akan membahas paparan hasil seminar LEMHANNAS atau pidato panjang lebar Presiden yang secara mujarab dan meyakinkan berhasil membuat ngantuk jajaran menteri, staff-staff khusus presiden, dan mungkin hadirin lainnya. Tetapi ada beberapa bagian yang saya anggap penting dalam pidato pak Beye, meskipun sayangnya bukan menjadi penekanan utama (karena pidatonya mengalir, alias ngalor-ngidul ). Pertama, kunci dari penanggulangan aksi terot adalah ‘Nation in Arms‘ atau yang dalam konteks pertahanan nasional kurang lebih sesuai dengan gagasan ‘Pertahanan Rakyat Semesta’. Nation in Arms dalam arti harfiahnya adalah keterlibatan seluruh elemen suatu negara dalam perang atau semua warga negara ikut angkat senjata. Mungkin maksud pak Beye adalah, berbagai elemen bangsa harus terlibat dalam penanggulangan terorisme.

Apa yang dipaparkan oleh pak Beye tersebut sebenarnya sudah jauh-jauh hari terwadahi oleh sistem pertahanan rakyat semesta yang telah sejak lama menjadi jargon pertahanan nasional. SISHANKAMRATA secara konsep seharusnya diwujudkan dengan penguatan fungsi pertahanan sipil ditengah masyarakat. Jargon tersebut, sayangnya seakan hanya menjadi sekedar jargon. Nggak ada wujud nyata dari pengembangan konsep pertahanan sipil tersebut selain fungsi linmas dan mengakarnya peran Babinsa ditengah  masyarakat. Sayangnya, pak Beye tidak menyinggung sedikitpun mengenai penguatan pertahanan sipil ini sepanjang pidato mujarabnya tersebut. Mengenai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara, yang sebenarnya menjadi manifestasi yang lebih teknis dari  juga tidak disinggung sedikitpun.

Selanjutnya pak Beye membahas panjang lebar mengenai badai krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS hari-hari belakangan ini. Tadinya, saya berpikir beliau akan memberikan kata-kata penyemangat untuk menguatkan sektor ekonomi riil dan entrepreneurship yang saya percaya menjadi menjadi kunci ketahanan ekonomi nasional pada krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang lalu. Sayangnya harapan itu tidak terwujud, karena pak Beye lebih menekankan solusi ekonomi di tataran makro seperti pengurangan hutang, peningkatan pendapatan negara, kebijakan anggaran berimbang dan lain-lain, yang menurut saya terasa mengawang serta tidak menstimulus peran masyarakat luas. Padahal, kalau ingin bertindak lebih preventif, kunci utama agar ekonomi dalam negeri stabil adalah mendorong pertumbuhan usaha, terutama UMKM.

Terlepas dari poin-poin yang tidak dibahas oleh presiden tersebut, saya sebenarnya terlalu ambil pusing. Mungkin hanya sebatas itulah yang bisa diharapkan dari presiden kita saat ini. Kita mesti menghadapi kenyataan bahwa seorang presiden bukanlah manusia super yang dapat menyelesaikan semua permasalahan bangsa secara instan. Dengan karakteristik partai demokrat sebagai pengusung utama pak Beye beserta oportunisme kader-kadernya, wajar pula jika kita pesimistis dengan figur pak Beye. Kepemimpinan pak Beye (secara personal sebenarnya tidak ada masalah, yang bermasalah adalah setan-setan yang mengekor dibelakangnya), ini setidaknya bisa menjadi hikmah bahwa parpol yang ideal bukanlah parpol berbasis massa, tetapi partai kader (yang sayangnya baru terwakili sosok PKS saja saat ini) yang punya basis sistem nilai internal yang kuat.

Anggap saja tulisan panjang lebar diatas hanyalah sebuah intermezzo dari saya. Oleh-oleh sebenarnya dari buka puasa kemarin adalah kreasi kuliner yang terinspirasi dari menu makan malam kemarin. Bukan nasi briyani + kambing guling, selat solo, ayam kungpao atau soto betawi yang berkesan bagi saya. Tetapi justru hidangan penutupnya yang sederhana yang malah begitu meninggalkan kesan buat saya. Es buah mentimun dengan jeruk nipis di acara tadi malam benar-benar bikin saya kesengsem. Pilihan menu penutup ini menurut saya cukup cerdas. Di tengah gempuran kolesterol di menu-menu lainnya, es mentimun ini benar-benar menyegarkan lidah dan pencernaan kita. Saya jadi tertarik untuk sedikit bereksperimen menebak resepnya. Semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca semua.

Es Timun Serut Ala Istana Negara

Bahan: 1/2 Kg Timun, Sirup rasa Orange Squash/jeruk nipis secukupnya, jeruk nipis 3-4 buah, es batu.

Cara membuat:

  • Timun diserut/parut kasar memanjang
  • Larutkan sirup dengan air kurang lebih 1 liter.
  • Masukkan timun dan es batu, aduk.
  • Peras jeruk nipis diatasnya.
  • Simpan di lemari es selama 1/2 – 1 jam.
  • Siap dihidangan.