Jenis-jenis Syirik: Memohon Keberkahan dari Mereka yang Telah Meninggal
Kajian Aqidah PKPU Bandung
Jenis-jenis Syirik: Memohon Keberkahan dari Mereka yang Telah Meninggal
Oleh: Ustadz Budi Hatta’at Lc.
Dalam bahasa arab, ‘Berkah’ – Al-Barakatu – berarti ‘bertambahnya kebaikan’. Pertambahan yang dimaksud disini adalah dalam hal kualitas dan bukan kuantitas suatu benda. Dengan kata lain, keberkahan itu dapat berarti dari bertambahnya kemanfaatan (kebaikan) suatu hal.
Dalam suatu hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda: “Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang“( HR. Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi).
Usia yang berkah itu bukanlah usia yang panjang, tetapi kebaikan yang ada dalam usia tersebut. Ilmu yang berkah bukanlah karena banyaknya ilmu, tetapi seberapa besar kemanfaatannya bagi orang lain.
Dalam pernikahan, sering kita mengucapkan “baarakallahu laka, wa baaraka ‘alaika wa jaama’a baina kumaa fii khair“. Maksudnya adalah kita memohon semoga Allah memberikan berkah dalam rumah tangga sang mempelai, kemudian semoga Allah tetap memberikan keberkahan dalam kerumitan rumah tangga kedua mempelai, dan terakhir semoga Allah menyatukan mereka dalam kebaikan. Dengan doa tersebut, diharapkan segala masalah yang dihadapi pasangan pengantin itu akan berujung dengan kebaikan.
Kembali kepada makna ‘berkah’, keberkahan itu berasal hanya dari Allah. Tidak ada makhluk hidup yang dapat memberikan keberkahan, apalagi mereka yang telah wafat. Maka dari itulah, mengharapkan keberkahan dari yang sudah meninggal masuk kedalam kategori syirik. Selain itu, memohon keberkahan dari yang sudah meninggal berarti menyamakan Allah dengan selain Allah.
Hal yang lebih parah lagi apabila mengajak bicara orang yang telah meninggal, mengajukan permohonan seolah-olah sang mayyit masih hidup, memberinya wangi-wangian, mengambil tanah makamnya, dan sebagainya. Ketika orang menganggap hal tersebut berkah, maka hal itu termasuk syirik.
Dalam surat Al-Ma’idah ayat 117 disebutkan:
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (Q.S. Al Maidah : 117)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Isa AS hanya mengetahui kondisi umatnya hanya saat beliau hidup. Ketika kemudian Allah mengangkatnya/mewafatkannya, maka Nabi Isa tidak mengetahui apa yang terjadi dengan umatnya, apalagi membantu mereka. Hal ini menegaskan bahwa orang yang telah wafat tidak dapat memberi, apalagi mengijabah doa-doa orang yang meminta kepadanya.
Banyak orang datang berziarah ke makam. Boleh saja kita berziarah kubur, namun ada beberapa batasan mengenai hal yang diperbolehkan saat kita berziarah. Diantara hal yang boleh kita lakukan adalah, berdoa untuk kebaikan sang mayyit, berdoa untuk kebaikan keluarga sang mayyit dan kita boleh berziarah kubur jika dimaksudkan untuk mengingat kematian. Bahkan Rasulullah melarang umatnya untuk mengunjungi makamnya jika hal tersebut dimaksudkan untuk beribadah.
Dalam surat Al Ahqaaf ayat 6 disebutkan:
Dan manakala manusia dikumpulkan pada hari kiamat, niscaya ‘sembahan selain Allah’ itu menjadi musuh mereka dan menyangkal pujaannya. (Q.S. 46:6)
Jika dikaitkan dengan bahasan ini, maka orang-orang yang telah meninggal itu akan menjadi musuh atau berada di pihak yang bersebrangan dengan orang-orang yang memohon keberkahan kepada mereka. Hal ini karena kebanyakan kuburan yang dikeramatkan adalah kuburan orang-orang shalih, sedangkan yang meminta berkah kepada mereka masuk kedalam golongan orang-orang musyrik.
Demikian pula halnya meminta keberkahan dari kepada semua benda mati. Hal tersebut masuk pula dalam praktik syirik.